Jika ada orang yang bertanya “Gina siapa orang yang paling kamu benci.” Maka secara spontan aku akan jawab “Jajang.” Ya…, Jajang, suamiku sendiri. Suami yang tega menjual istrinya sendiri sebagai pel*cur. Sadis bukan? Aku kawin dengannya ketika masih umur 15 tahun. Orangtuaku tidak berdaya ketika Jajang melamarku dengan ancaman. Jajang, badannya kekar, kulitnya gelap dan suaranya keras. Kerjanya sebagai juru parkir dan tukang malak orang. Sebetulnya ada yang naksir sama aku, Kang Asep, penjual bakso di kampungku juga. Tapi Kang Asep dihajar sama Jajang, gara-gara ngajak nonton ndang ndut di kampung sebelah. Sejak itu Kang Asep tidak berani lagi mendekatiku.
Jajang membawaku, mengadu nasib di kota metropolitan, Jakarta. Ternyata Jajang tidak sehebat saat menjadi preman di kampung. Jajang bukan apa-apa di Jakarta, hanya sebagai buruh. Tidak lebih. Kegarangan di kampung tidak berlaku di Jakarta. Banyak yang jauh lebih garang. Gaji sebagai buruh tidaklah cukup. Utang sana utang sini kepada tetangga. Pada akhirnya, utangnya menumpuk, setiap minggu, setiap bulan. Tidak ada penyelesaian.
“Gina…, kamu itu cantik. Beberapa temanku memujimu.”
”Terus kenapa? Gina kan sudah jadi istri Akang.”
“Iya…, katanya mereka akan kasih uang banyak kalau dapat tidur denganmu.”
“Apa…?! maksud Akang, Gina disuruh jadi pel*cur?!”
Hampir setiap hari, Jajang membujukku. Terakhir mengancam akan membunuhku. Pernah aku digampar, ditonjok, ditampar. Kalau hanya dijambak sudah tidak terhitung. Pada akhirnya, dengan terpaksa kemauan Jajang kuturuti. Menjadi pel*cur melayani nafsu teman-teman Jajang, kadang harus berdiri di pinggir jalan menjajankan tubuhku. Sungguh menyakitkan. Luka yang pedih, luka yang membekas, luka yang tidak ada obatnya. Aku akan ingat selamanya.
“Jajang ingat ya…, ingat suatu saat nanti. Ini sumpahku, sumpah istri yang dizalimi.” Kataku dalam hati.
“Gina, kamu pakai susuk pemikat, biar banyak langgananmu.”
Perintah Jajang aku turuti tanpa perlawanan. Benar sejak pakai susuk pemikat, langgananku semakin banyak. Aku naik kelas, dari kelas teri ke kelas wader. Dari berdiri di pinggir jalan berpindah di hotel kelas melati.
Satu tahun sebagai pel*cur, aku tidak tahan. Uang yang aku peroleh tidak seberapa, diambil semuanya oleh Jajang. Lelaki tidak tahu diri.
“Kang…, Gina tidak tahan jadi pel*cur.”
“Kalau begitu, kamu jadi pembantu saja.”
Jajang sendiri yang mencarikan keluarga yang memerlukan jasa pembantu. Setelah mencari beberapa hari, akhirnya aku menjadi pembantu di keluarga Pak Alex, dokter spesialis kandungan. Pak Alex orangnya gagah, tinggi besar, umurnya sekitar 35 tahun. Sementara Ibu Veronica, istri Pak Alex, orangnya cantik, bak selebritis, pakaiannya selalu modis, usianya aku taksir sekitar 32 tahun. Pasangan serasi, yang satu gagah yang satu cantik. Keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Pagi, mereka berdua pergi bekerja dengan kendaraan masing-masing. Pak Alex ke rumah sakit swasta yang cukup besar dan Ibu Veronica sepertinya punya bisinis. Kalau ketemu di rumah biasanya hari sudah cukup larut malam.
Rumah Pak Alex sangat besar, bertingkat. Halamannya luas, dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Di sekeliling tembok terdapat berbagai tanaman yang diatur sangat rapi dan indah dengan Gazebo di tengahnya. Paidi pembantu khusus yang menangani halaman, tugasnya mengurus kebun dan hal-hal lain yang berada di luar rumah.
Oleh Ibu Veronica, aku diberi kamar di belakang berhadapan dengan kamar Paidi. Meski kecil, namun isinya cukup lengkap: tempat tidur, lemari pakaian, TV. Kamarnya, kira-kira seperti hotel melati.
“Gina, Pak Alex dan Ibu Veronica itu kasihan ya…, sudah lebih 7 tahun perkawinannya tapi belum juga punya anak.” Kata Paidi suatu malam bercerita.
Sering, aku ngobrol dengannya di Gazebo. Tentu saja Paidi tidak mengetahui latar belakangku yang pernah sebagai pel*cur. Aku berlaku layaknya perempuan desa.
Setiap bulan pada tanggal muda, Jajang selalu datang mengambil gaji yang aku terima. Namun sebagian gajiku sudah aku kirim ke orangtua di desa untuk membiayai sekolah kedua adikku yang bersekolah di SMP kelas 3 dan di SD kelas 3. Kesemuanya masih memerlukan biaya yang tidak bisa diperoleh dari orangtuaku.
Namun setelah hampir satu tahun sebagai pembantu, pikiranku berubah. Aku ingin memperoleh uang lebih banyak dari Pak Alex.
“teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…, teng…”
Jam dinding di rumah utama terdengar sebanyak 12 kali. Waktu persis tengah malam. Tidak berapa lama, suara burung hantu mengikutinya.
Huuuhk…, Huuuhk…, Huuuhk…,
Sudah tiga malam Kliwon ada suara suara aneh dalam hatiku. Suara yang muncul ketika jarum jam menunjukkan 12 malam.
“Gina, apakah kamu hanya kepengin jadi pembantu selamanya?”
“Gina, apakah kamu tidak ingin merubah takdirmu.”
Pada malam Kliwon yang ketiga suara itu aku jawab dalam hati.
“Aku ingin hidup bahagia, ingin merubah takdirku.” Jawab hatiku.
“Kalau hanya itu, keinginanmu, Mbah Dukun dapat menyelesaikannya.” Jawab suara hati kiriku.
Aku hubungi Mbah Dukun via WA.
“Mbah …, Aku pengin hidup bahagia, ingin merubah takdirku.”
“Oh…, begitu. Mbak Gina, pasang susuk pemikatnya tambah satu lagi ya…”. Sepertinya Mbah Dukun sudah mengetahui pikiranku.
“Baik Mbah…”
“Tarifnya sedikit agak mahal ya…”
“Tidak masalah Mbah.”
“Mbak Gina, jangan lupa ya… malam Selasa Kliwon, nanti Mbah bantu dari sini.”
Aku tak sabar menunggu malam Selasa Kliwon. Entah ada kejadian apa. Tibalah malam Selasa Kliwon, jam masih menujukkan 19.00. Awan hitam menggantung di langit, hujan rintik rintik, disertai dengan hawa dingin yang menyelimuti malam. Pohon pohon diam bagai patung, binatang malam tidak ada suaranya. Sangat sunyi. Selembar daun jatuh akan kedengaran bunyinya.
“Gina …!”
Aku agak kaget ketika mendengar suara panggilan Pak Alex.
“Ya…, Pak…” , sambil berjalan cepat menuju rumah utama.
“Ada apa Pak?”
Pak Alex melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala tanpa berkedip.
“Tolong …, Aku dipijat, badanku terasa pegal pegal, bisa kan?”
“Ya…, ya…, bisa Pak.”
“Di kamar yang kosong saja,” sambil menunjuk salah satu kamar di lantai 1.
Aku mengikuti saja ketika Pak Alex menuju kamar kosong. Pak Alex langsung membuka baju dan merebahkan badannya di ranjang.
Sebagai mantan pel*cur, Aku sudah biasa memijat tamu-tamuku. Banyak yang ketagihan. Tidak lebih dari 10 menit, Pak Alex bangun dan duduk di tepi tempat tidur, sambil memandangku tanpa berkedip. Sepertinya Pak Alex tidak tahan ketika aku memijat daerah sensitifnya.
“Gina, kamu cantik sekali.”
Aku diam saja. Aku pura-pura menunduk melihat lantai. Ini tentu pengaruh dari susuk pemikat. Menurut pelangganku, mereka selalu bilang kalau aku cantik, wajahku memancarkan pesona. Apalagi ini dua susuk pemikat.
Pak Alex mendekatkan wajahnya untuk menciumku. Aku pura-pura hendak mundur, namun dengan cepat Pak Alex menangkap pinggangku menahannya. Dengan rakusnya Pak Alex menciumku bukan hanya bibir tapi seluruh tubuhku. Sepertinya Pak Alex sudah lama tidak menikmati kehangatan cinta ibu Veronica. Sambil mencium, tangan Pak Alex mulai membuka bajuku, satu persatu satu, hingga tidak ada benang satu helaipun yang menempel di tubuhku.
“Gina, kamu cantik sekali.”
Sepertinya, Pak Alex betul betul terkesima melihat tubuhku. Kembali Pak Alex menciumku. Nafasnya mulai tersengal. Tangannya meraba seluruh tubuhku. Berkali kali Pak Alex selalu menyebutku “Gina kamu cantik sekali”, “Gina tubuhmu sangat mulus”.
Kedua raga beradu, bersatu. Khasiat susuk pemikat memang luar biasa. Cukup lama sampai sampai Pak Alex ketiduran.
“Pak …, Pak …, bangun” Kataku sambil menepuk nepuk pipinya.
Perlahan lahan matanya terbuka.
“Pak…, bangun. Jam setengah sepuluh. Sebentar lagi Ibu pulang.”
“Gina…, kamu hebat sekali.”
Sejak itu, setiap ada kesempatan, Pak Alex selalu mintaku menemani tidur. Pernah suatu siang, ketika itu aku sedang rebahan, tiba tiba Pak Alex masuk kamarku. Langsung menerkamku, menciumku, membuka seluruh bajuku dan seperti yang sudah sudah, diakhiri dengan tidur pulas. Pertemuan dua raga sudah berlangsung untuk kesekian puluh kalinya.
“Gina, kamu hebat sekali. Gina, kamu cantik sekali.”
Itulah kata kata yang selalu keluar dari Pak Alex. Setiap kali Pak Alex mengajaku tidur, Pak Alex selalu memberikan tumpukan lembaran uang merah.
Paidi satu satunya orang yang tahu hubungan gelapku dengan Pak Alex.
“Ginah, aku pengin juga tidur denganmu.”
Meski Paidi sudah aku berikan lembaran uang warna merah, tapi minta lebih, ingin merasakan kehangatan tubuhku.
“Kurang ajar, dasar kucing garong, kucing buduk.” Aku ngomel sendirian.
—
“Mbah Dukun…, Aku minta tolong. Tolong Jajang suamiku.” Pintaku via WA.
“Baik Mbak Gina .”
Satu minggu berikutnya Paidi memberikan surat kabar “Pos Pinggir Kota” kepadaku. Salah satu beritanya. “Jajang ketabrak kereta api. Diduga Jajang ngelamun saat mengendarai sepeda motornya”
“Jajang, saatmu sudah tiba. Itulah sumpahku.” Aku tersenyum. Puas. Mbah Dukun itu memang hebat. Ngerti apa yang ada dalam hatiku.
“Mbah Dukun…, Aku minta tolong lagi, Paidi.” Pintaku via WA.
“Baik Mbak Gina .”
Aku perhatikan Paidi akhir akhir ini murung. Entah apa sebabnya. Aku ngajak ngobrol di Gazebo. Ngobrol tanpa arah. Malam yang dingin. Rumah kosong. Pak Alex dan Ibu Veronica belum pulang. Hanya Aku dan Paidi.
“Paidi, kita tidur yuuk.” Ajakku menggoda.
“Gina, Saya nggak tahu kenapa ya…, burungku tidak bisa bangun lagi. Padahal bulan depan Aku mau kawin sama Ginem.” Katanya dengan wajah sedih.
“Paidi, kucing garong, kucing buduk. Rasakan pembalasanku.” Aku tersenyum. Puas.
Sudah satu minggu aku kembali ke kampung halamanku. Satu bulan terlambat bulan memberikan sinyal ada yang tidak beres di tubuhku. Pak Alex sudah tahu akan hal itu. Aku diberi sangu lumayan banyak untuk pulang ke kampung.
“Kang Asep, baksonya enak sekali.”
Ya…, sore itu, aku mampir di kedai bakso Kang Asep. Pengunjungnya lumayan banyak. Sepertinya Kang Asep sudah mantap dengan pekerjaannya.
“Kang…, mana istrinya?”
“Akang mah… belum punya istri. Nunggu Gina.” Katanya bercanda.
Sejak itu, aku semakin akrab dengan Kang Asep. Beberapa kali nonton ndang dut, atau nonton bioskop atau sekedar berjalan-jalan. Bergendengan tangan, berangkulan yang belum sempat dilakukan kala pacaran dulu.
“Gina…, apakah mau jadi istri penjual bakso?”
“Ah…, Kang Asep. Sejak dulu Gina juga mengharapkan Kang Asep jadi suami Gina. Sekarang harapan Gina terkabul.” Kataku sambil menggandeng Kang Asep.
Alangkah senangnya hatiku, ketika dua bulan berikutnya Kang Asep sudah jadi suamiku. Malam pertama bersama Kang Asep begitu indah. Meski Aku sudah terbiasa berhubungan badan dengan lelaki, namun dengan Kang Asep sangat berbeda. Jiwa ragaku aku serahkan sepenuhnya kepada Kang Asep.
“Kang Peluk Gina… Kang peluk Gina yang erat… Lagi Kang peluk yang lebih erat… Peluk Kang…” Aku tidur dalam pelukan Kang Asep.
Rembulan dan bintang yang dari tadi mengintip melalui celah-celah genting dan jendela aku biarkan. Juga, cecak dan tokek di dinding melotot memandang tanpa berkedip. Entah apa yang dilihatnya. Aku tidak peduli. Bahkan bila ada gempa pun aku juga tidak peduli. Pelukan Kang Asep memberiku rasa aman.
Masa kelam bersama Jajang, Paidi dan juga bersama Pak Alex perlahan lahan hilang dari ingatanku. Berganti dengan masa berbahagia bersama Kang Asep. Tujuh bulan berikutnya, anakku lahir. Kang Asep membawa bunga mawar merah, kemudian mencium keningku. Alangkah sayangnya Kang Asep kepadaku. Aku pegang tangannya, aku cium dengan perasaan penuh cinta. Air mataku menetes.
“Gina, anak kita laki laki. Kulitnya bersih dan putih. Menurut suster beratnya 2,5 kg dan panjangnya 53,2 cm. ” Kata Kang Asep dengan penuh kegembiraan.
“Iya…, wajahnya pasti kasep kaya Akang.” Kataku dengan air mata menggenang.
Hatiku sedih, hatiku bimbang melihat kegembiraan Kang Asep. Aku tidak mempunyai keberanian untuk menceritakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu benih siapa yang telah menjelma menjadi bayi. Apakah Jajang, Paidi atau Pak Alex. Yang jelas bukan benihnya Kang Asep. Aku pandang wajahnya, tidak ada kemiripan sama sekali dengan Kang Asep.
Perjalanan hidup panjang yang aku tempuh sungguh sangat melelahkan. Biarlah Aku menikmati kebahagiaan untuk sesaat. Tuhan ampunilah dosaku…
Cerpen Susuk Pemikat merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Kehidupan, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi