Bagiku, tinggal di suatu kompleks perumahan cukup menyenangkan. Perumahan yang tertata rapi termasuk lingkungannya, beda jauh saat tinggal di desa. Meski hanya menempati rumah dengan tipe 45, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Aku merasa naik status.
Aku tinggal berdua dengan adikku, Denok panggilannya. Nama sebenarnya Dwi Astuti. Ia baru saja lulus dari SMA dan lebih memilih tinggal bersamaku ketimbang bersama orangtuaku. Ada tiga alasan, pertama alasan finansial, orangtuaku sudah tidak mampu membiayai sekolahnya, kedua ia lagi mencari perguruan tinggi di kota dan yang ketiga memang kepenginnya tinggal bersamaku. Enak tinggak di kota, katanya.
Sebenarnya, umurku sudah berkepala tiga, namun belum berkeinginkan untuk berkeluarga. Secara finansial, pendapatan dari warung bakso melebihi gaji pegawai pemerintah golongan tiga. Warung baksoku di kompleks perumahan laris manis. Padahal resepnya biasa-biasa saja. Bakso sapi yang aku buat resepnya aku peroleh dari internet. Hasilnya empuk, gurih, dan sangat lezat.
Jujur, aku belum menemukan wajah gadis impianku. Aku sangat terpesona dengan wajah-wajah gadis idamanku, para bintang iklan lux pada jamannya. Foto-fotonya terpampang di kamarku: Desy Ratnasari, Tamara Bleszynski, Ira Wibowo, Ida Iasha, Nadya Hutagalung, Luna Maya, Dian Sastrowardoyo, dan Maudy Ayunda. Dua diantaranya: Desy Ratnasari dan Bunga Citra Lestari aku pasang tepat di depan meja kerjaku. Setiap saat aku dapat memandang wajahnya dengan tidak merasa jemu, berkhayal dapat istri yang wajahnya mirip salah satu bintang iklan tersebut. Pernah temanku, Agus, yang tinggal di kompleks menanyakan kepadaku tentang pacar. Aku jawab apa adanya. Mendengar jawabanku, Agus tertawa ngakak, sampai keluar air matanya.
“Juno…, ngaca lu! Apa aku tidak salah dengar, engkau itu hanya tukang bakso dengan wajah ndeso lagi.”
Apakah aku salah dengan wajah gadis idamanku? Mungkin aku terlalu muluk, tapi ya… nggak apa-apa. Siapa tahu mimpiku dapat terwujud. Banyak gadis desa yang wajahnya cantik, hanya saja mereka tidak dipoles seperti halnya bintang iklan tersebut.
Ada satu kembang desa yang menjadi rebutan para jejaka yang ada di desa termasuk yang berada di komplek. Euis Ratnasari, namanya. Wajahnya mirip Desy Ratnasari. Jika mereka memakai make up, aku yakin kecantikannya tidak kalah. Aku sendiri belum sempat berkenalan dengannya, hanya melihat sepintas ketika Euis bersama temannya jalan di depan warungku. Setiap jalan di depan warung bakso, Euis selalu menoleh ke warung. Suatu saat kami bertatapan. Entah mengapa jantungku berdetak dengan cukup keras, dheg…, dheg…, dheg…, ditambah hatiku berbunyi ser…, ser,…, ser… Ini pertama kalinya jantung dan hati berbunyi ketika bertatap dengan gadis.
Aku yakin suatu saat Euis akan mampir ke warungku. Benar, malam Minggu itu, Euis bersama temannya yang belakangan aku tahu namanya Iin mampir ke warungku. Jam masih menunjukkan pukul 20.00, namun bakso tinggal terakhir. Kami pun berkenalan.
“Juno.” Aku ulurkan tanganku kepada Euis.
“Euis.”
“Juno.” Aku ulurkan tanganku kepada Iin.
“Iin.”
Itulah perkenalan pertama dengan Euis. Sempat ngobrol sebentar sebelum warung aku tutup.
“Euis, bagaimana kalau malam Minggu depan, setelah warung tutup kita kumpul-kumpul dengan teman-teman di taman kompleks. Nanti aku kenalkan dengan teman-teman kompleks.”
Euis pun mengangguk…
Tidak terlalu jauh dari rumahku terdapat sebuah taman yang lumayan luas, mungkin sekitar setengah hektar. Layaknya taman, ada tempat duduk, ayunan, jalan setapak, kolam ikan dan tentu saja berbagai tanaman bunga-bungaan yang ditata cukup rapi dan indah. Kalau siang hari, apalagi pas hari libur taman tersebut dijadikan tempat bermain anak-anak bukan hanya anak-anak kompleks tetapi juga anak-anak desa sebelah bahkan anak-anak dari tempat lainnya.
Di taman tersebut terdapat tiga pohon besar, satu pohon beringin dan dua pohon cempaka. Pohon beringin berada tepat ditengah taman. Berdiri dengan angkuhnya. Batangnya sangat besar, mungkin 3-5 orang baru bisa memeluknya. Pohon dengan dedaunan yang rimbun menjulang ke atas, ingin menggapai langit. Melihat besarnya, dapat dipastikan pohon tersebut sudah ada sebelum kompleks perumahan dibangun. Umurnya, dapat diduga puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun. Konon, cerita yang berkembang dari desa sebelah, pohon beringin tersebut angker, sering ada penampakan. Saat pembangunan perumahan, pohon beringin tersebut pernah dicoba untuk ditebang oleh pengembang. Namun, beberapa orang yang mencoba menebang, esoknya jatuh sakit. Bukan hanya itu, ada yang meninggal karena jatuh ketika memanjat pohon untuk menebang batangnya. Pohon beringin tersebut diapit dua pohon cempaka putih. Kedua pohon itu pun tidak kalah tingginya, hanya batangnya tidak sebesar pohon beringin. Pada saat berbunga, memberikan aroma harum khas cempaka disekitar taman. Di Jawa bunga tersebut dikenal dengan nama kantil.
Malam Minggu, dapat dipastikan banyak remaja kompleks, laki-laki dan para gadis duduk-duduk di taman sambil main gitar, nyanyi-nyanyi ditemani minuman kopi dan kudapan ala kadarnya. Sering aku gabung bersama mereka, ikut main gitar dan menyediakan kudapan ala kadarnya: kacang rebus, pisang goreng, singkong rebus dan kopi panas.
Malam Minggu itu, aku bersama Euis ikut bergabung setelah warung tutup.
“Mas Juno, nggak apa-apa Euis ikut bergabung.”
“Ya…, nggak apa-apa, nanti Mas Juno kenalkan dengan teman teman yang ada. Mereka selalu menghabiskan malam Minggu di taman. Hiburan yang murah meriah.”
“Cielee.., tumben Juno bersama gadis cantik. Kenalkan donk.”
“Agus, ini Euis dari desa sebelah. Euis, ini Agus, teman dekat Mas Juno.”
“Juno…, rupanya cita-cita terkabul, mendapatkan gadis yang wajahnya mirip dengan Desy Ratnasari.”
Sejak itu, aku bersama Euis sering gabung dengan teman-teman di komplek menghabiskan malam Minggu. Sesekali jalan bergandengan tangan ke mall atau nonton biskop atau hanya sekedar jalan menikmati kuliner di kaki lima. Hari-hari yang indah bersama Euis.
—
Malam itu, malam Selasa Kliwon, konon menurut primbon Jawa malam yang menyeramkan dibandingkan dengan malam-malam lainnya termasuk malam Jum’at Kliwon. Ini mitos menurutku. Bagiku malam satu dengan malam lainnya sama saja.
Awan hitam menyelimuti bulan dan bintang yang ingin menampilkan kecantikannya. Sepertinya akan turun hujan. Dentangan jam di dinding terdengar satu kali. Ini menunjukkan bahwa hari sebenarnya sudah berpindah ke hari berikutnya. Sebenarnya, aku ingin tidur, tapi mataku tidak mau menuruti perintah otakku. Ini gara-gara dua cangkir kopi hitam untuk mempertahankan mataku tetap terbuka menikmati pertandingan liga Inggris antara Manchester City lawan Manchester United. Kedua kesebelasan yang berasal dari kota yang sama, Manchester. Pertandingan derby selalu menarik untuk menunjukkan siapa yang menjadi penguasa di kota tersebut. Dulu, jamannya Manchester United dilatih Alex Ferguson, selama beberapa tahun Manchester dikuasasi Manchester United. Namun, sejak Alex Ferguson pensiun dan Manchester City dilatih oleh Pep Guardiola, penguasa Manchester berpindah ke Manchester City.
Demikian gerahnya, kaos yang aku kenakan basah karena keringat yang tiada henti keluar dari badanku. Aku buka pintu untuk merasakan sejenak udara di luar. Antara sadar dan tidak, lamat-lamat terdengar suara yang memanggilku dari arah taman, suara itu sangat kukenal. Seperti ada yang menuntun, aku menuju taman. Benar, hawa di taman jauh lebih sejuk. Aku menuju tempat duduk yang hanya diterangi lampu dengan cahaya remang-remang. Malam demikian sepi dan sunyinya, tiada warga yang keluar rumah. Pak Satpam yang seharusnya patroli menjaga kompleks juga tidak kelihatan.
Aku lihat ke atas, awan hitam masih setia menggelatung, sepertinya ingin menumpahkan air yang disangganya. Hembusan angin yang biasanya setia memberikan kesejukan kini berhenti. Tanaman bagai patung, diam tanpa nafas. Jangkerik, kodok, burung hantu dan binatang malam lainnya bagai dikomando, tidak mau mengeluarkan suaranya yang merdu. Ada sesuatu yang tidak biasa, mereka semua lebih memilih bersembunyi diantara rimbunan tanaman dan bebatuan. Malam yang sempurna bagi yang senang kesendirian.
Keheningan malam terusik adanya suara burung hantu dari rimbunnya pohon beringin.
“Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk…”
“Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk…”
“Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk…”
Dan tidak berapa lama terdengar suara ayam jago berkokok dan lolongan anjing yang bersautan dari desa sebelah.
“Aauuuu…!”
“Aauuuu…!”
“Aauuuu…!”
Malam yang aneh. Suasananya cukup mencekam, ada sedikit ketakutan. Sempat berpikir akan masuk ke rumah, tapi keinginan itu aku tahan, aku ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
Dalam kesendirian dan keheningan malam, tiba-tiba angin dingin menerpaku dari samping kanan. Bulu kuduk dan bulu-bulu di tanganku berdiri tanpa aku suruh. Aku diam sesaat. Kembali rasa takut hinggap di hatiku. Tidak berapa lama, untuk kedua kalinya, angin dingin menerpa mukaku dari sebelah kanan. Ketika aku tengok.
“Astagfirullah…,” dari mulutku secara spontan keluar kata tersebut. Disebelahku duduk seorang perempuan, wajahnya tertutup rambut. Dari mana datangnya? Hantu atau perempuan yang sedang mencari hawa sejuk seperti halnya aku? Kalau orang, kedatangannya pasti aku ketahui. Kembali rambut-rambut bulu kuduk dan tanganku berdiri. Aku cubit tanganku cukup keras, sakit. Jadi aku tidak mimpi. Aku mencoba berdiri, tetapi kakiku seperti ada yang memegangnya. Aku coba menenangkan diri, mengatur nafas, mengendalikan otakku. Tercium aroma wangi bunga cempaka demikian tajamnya, aroma mistis. Aku hanya diam, mulutku tidak bisa bersuara. Pasrah.
“Juno…, itu namamu kan.” Katanya.
“Juno…, engkau sedang apa?” Katanya lebih lanjut.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah pertanyaan tersebut harus aku jawab, atau aku biarkan saja. Akhirnya dengan keberanian yang aku paksakan, dan setelah rasa takutku bisa ketekan, aku putuskan untuk menjawabnya dan akan kulayani apa keingginannya.
“Seperti yang engkau lihat, aku sedang duduk. Udara di kamar demikian gerahnya, aku kesini sekedar mencari kesejukan.”
“Apakah kitab bisa ngobrol?”
“Ngobrol? Ngobrol apa?”
“Ya…, ngobrol apa saja. Tapi lebih asyik kalau kita ngobrol tentang gadis impianmu. Bukankah engkau berkhayal dapat pacar atau malahan dapat istri yang wajahnya menyerupai Desy Ratnasari atau Bunga Citra Lestari?”
“Darimana engkau tahu?”
“Hi…, hi…, hi…, ya…, dari foto-foto yang engkau pajang di kamarmu.”
“Siapa dirimu?” Sunyi, tiada jawaban.
“Siapa dirimu?” Untuk kedua kalinya aku bertanya. Sunyi, tiada jawaban.
“Siapa dirimu?” Kembali, untuk ketiga kalinya aku bertanya.
“Hi…, hi…, hi…”
Aku kaget mendengar suara ketawanya.
“Engkau pasti hantu. Kita berbeda alam. Aku tidak pernah menggangu dan aku berharap engkau pun tidak akan menggangguku.”
“Hi…, hi…, hi…, Juno, belum apa-apa engkau sudah berprasangka buruk kepadaku.”
“Engkau belum jawab pertanyaanku, siapa dirimu.”
“Juno, kalau yang engkau maksud, namaku, sebenarnya engkau sudah mengenalku.”
“Engkau itu suka mengada-ngada saja.”
“Ya…, betul. Namaku Desy Ratnasari.”
“Kembali, engkau suka mengada-ngada.”
“Juno, baiklah, aku akan menatapmu, jangan kaget kalau engkau melihat wajahku.” Hantu itu pun menghadapku.
“Astagfirullah,” untuk kedua kali mulutku menyebutkan kalimat tersebut. Betul wajah Desy Ratnasari berada dihadapku. Aku gosok-gosokkan tanganku ke mataku untuk menyakinkan bahwa perempuan yang didepanku adalah Desy Ratnasari. Jantungku berhenti sesaat, kemudian detak jantungku bagai berlari cepat. Dheg… dheg… dheg. Setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi.
“Mas Juno…, Mas Juno…” Lamat lamat mendengar suara memanggilku. Aku buka mataku, terlihat Denok sedang mengoyang-goyangkan badanku.
“Mas Juno…, bangun.” Aku lihat disekitarku selain Denok juga beberapa tetangga mengelilingi.”
“Mas Juno…, apa yang terjadi?”
Aku diam sesaat. Setelah kesadaranku pulih kembali, aku coba menerangkannya.
“Tadi malam setelah nonton sepak bola, hawa di kamar demikian sumuk, makanya aku cari hawa yang sejuk di taman. Tidak terasa aku malahan tertidur.” Sengaja pertemuan dengan hantu Desy Ratnasari tidak aku ceritakan.
“Mas Juno, ketika Denok bangun, kamar Mas Juno terbuka, tapi Mas Juno tidak ada. Denok cari tidak ada. Denok sangat khawatir, makanya Denok minta tolong sama Pak Satpam untuk mencari Mas Juno.”
“Mas Juno tidak apa-apa. Hanya ketiduran. Hawa di kamar demikian gerahnya.”
“Terus kenapa Mas Juno, menggemgam bunga cempaka?” Tanya Denok.
“Mungkin bunga cempaka jatuh tepat di tangan Mas Juno saat Mas Juno tertidur.” Sejatinya aku heran juga. Soalnya bunga tersebut dalam keadaan tergemgam. (Bersambung)
Cerpen Wangi Bunga Cempaka (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Horor, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi