Namun, anggap saja kamu sudah membaca surat-surat itu. Yang salah satu di antaranya, aku berusaha mengurai episode pemulihan diriku, yang pernah aku singgung secara sekilas saat kita pertama kali bertemu. Kamu tampak ingin tahu, tapi saat itu aku bingung harus memulai dari mana. Dan kita sama-sama tahu, kita tidak punya banyak waktu, juga tidak bisa mengira-ngira kapan akan bertemu lagi. Cerita berikut ini adalah kelanjutan dari isi surat itu, beberapa hal yang aku ingin kamu tahu, dan berharap suatu hari nanti, kamu akan mengerti.
Dalam pengandaian ini, kamu tahu ada tiga babak dari episode kusut yang aku sebut tadi: kekerasan pertama, kekerasan kedua, lalu caraku untuk bisa tetap hidup. Di antara ketiganya, ada banyak sekali hal yang terjadi dan membuat aku tampak baik-baik saja. Kamu juga tahu ada empat kepingan diriku, tiga berasal dari rentang usia yang sama: aku yang telanjang; aku yang menggigil; aku yang berseragam; lalu satu kepingan yang tersisa adalah, aku yang kamu kenali saat ini.
Mereka bertemu melalui sebuah jendela teralis besi yang muncul di dalam benakku, berdatangan setelah mendengar suara azan di hari Jumat siang. Tiga dari mereka berusaha untuk saling mengenali dan mengetahui asal usul satu sama lain, sementara satu dari mereka, aku yang kamu kenali saat ini, hanya diminta untuk menemani mereka pergi dari satu ruang-waktu ke ruang-waktu lainnya. Di akhir pertemuan mereka, aku yang telanjang menghabisi dua lainnya, yang menggigil dan yang berseragam, dengan sebilah pisau dari entah mana. Keduanya mati dan tidak pernah menghampiri lagi.
Aku yang kamu kenali saat ini membiarkan aku yang telanjang menangis hingga suaranya habis. Setelah itu kamu tahu kelanjutannya: kami pergi dengan sebuah perahu layar, meninggalkan dermaga hangus terbakar api. Kamu juga tahu bahwa aku berulang kali mengatakan pada diriku yang telanjang dan kini bisu,
Kita sudah tidak berada di sana lagi. Kita sudah pergi meninggalkan semua itu, menuju tempat lain yang lebih teduh, lebih damai—aku berjanji akan menemanimu hingga pulih dan moksa.
Awalnya pelayaran itu terasa begitu panjang dan menyiksa. Aku berusaha menahan diriku yang telanjang dan bisu untuk tidak melompat dari perahu, untuk tetap duduk bersamaku, dan terus meyakinkan dirinya bahwa akan ada dermaga lain di ujung sana, meskipun saat itu yang kami lihat hanya hamparan laut dan pantulan kilau matahari. Sesekali ia menuruti, namun seringkali ia menggeliat dari pelukanku.
Aku mengerti, aku mengerti, aku mengerti, ucapku setiap kali ia meronta-ronta ingin menceburkan diri ke laut.
Kita akan tiba di sana, sebentar lagi, bujukku agar ia tetap mau duduk bersama. Diriku yang telanjang dan bisu hanya bisa menangis tanpa henti. Aku minta maaf karena tidak banyak yang bisa aku lakukan—aku pun ketakutan, bisikku padanya.
Dalam pelayaran itu, kami bertemu sekoci-sekoci, dengan beberapa orang yang bersedia meminjamkan kompas dan peta navigasi. Mereka menghampiri dan menyampaikan,
Ada beberapa dermaga lain yang lebih dekat dan mudah dilalui, tapi apakah itu yang ingin kalian tuju?
Aku melihat diriku yang telanjang dan bisu, kami sama-sama menggeleng, tidak tahu.
Lalu kami meneruskan pelayaran, mengikuti terpa angin dan pasang surut lautan, terombang-ambing seraya memelihara keyakinan bahwa, akan ada dermaga teduh di ujung sana, yang bisa menerima kami tanpa banyak tanya.
Dan benar saja, pada suatu hari kami melihat sebuah dermaga kecil yang tampak teduh. Ada seseorang yang menanti di sana. Kami melempar sauh, turun dari perahu, berjalan pelan-pelan membelah riak pantai dan mendengar suara orang yang sepertinya telah lama menanti kami,
Selamat datang, silakan menepi!
Orang itu menggerakkan tangannya beberapa jengkal dari muka kami, lalu agak lama setelah itu, memeluk diriku yang telanjang dan bisu, hingga kemudian dia kembali menangis, yang terdengar seperti lolongan serigala—lama dan pilu. Tapi sehabis itu, aku yang kamu kenali saat ini, merasa bisa membaca arah angin, letak palung, permukaan rendah penuh terumbu karang dan arus bawah laut. Orang di dermaga kecil itu lantas memberi tahu,
Ini hanya persinggahan sementara, tapi boleh kalian hampiri lagi kapan saja.
Itu berarti, masih ada perjalanan lain lagi untuk akhirnya bisa benar-benar berlabuh.
Tapi kami tidak keberatan. Aku yang telanjang dan bisu akhirnya bisa duduk tanpa perlu selalu aku peluk. Ia bahkan bersandar di tiang layar perahu, menatap bentangan garis lurus yang selalu ada di ujung sana. Aku tidak tahu apa yang ada di benaknya, tapi sejak awal bertemu, aku tidak pernah melihat dia bisa duduk tenang seperti itu. Aku yang kamu kenali saat ini, akhirnya bisa sepenuhnya menjadi juru kemudi. Kali ini, untuk menemukan sekoci-sekoci lain, lalu meminta bantuan memeriksa pembacaan mata angin dan memetakan bersama arah ke dermaga yang ingin kami tuju.
Perjalanan itu terasa seperti dimulai kembali. Percik air laut terasa lebih segar, awan seperti selalu menyertai, dan meski terkatung-katung di tengah laut lepas, seperti ada yang menunggu kami di suatu tempat. Pada malam hari, kami bisa merebahkan badan dan menatap langit yang penuh titik-titik cahaya. Aku yang telanjang mulai bisa menyebutkan satu dua hal, meraba kulitnya yang mengering, dan merapikan helai-helai rambutnya yang menjuntai tak beraturan. Dia mengeja namanya, nama kami, suaranya pelan dan lirih, seperti meminta aku untuk mendengar benar-benar. Berkali-kali, setiap hari, hingga pada suatu pagi, ada sekoci berisi orang-orang yang kami cari.
Pertama, mereka memastikan bahwa kami sedang dalam keadaan yang baik dan sehat. Kedua, mereka menanyakan apa yang sudah terjadi dan apa yang bisa mereka bantu. Ketiga, kami menjelaskan dermaga yang ingin kami tuju, juga pembacaan mata angin yang kami perkirakan, lantas mereka memeriksa peta navigasi dan mengatakan,
Dermaga itu jauh sekali. Bukan tidak mungkin kita sampai ke sana, tapi apa kalian sudah benar-benar siap untuk melalui perjalanan yang lebih panjang lagi?
Aku yang kamu kenali saat ini dan aku yang telanjang namun tidak lagi bisu mengangguk bersamaan—iya, kami sudah siap.
Hari-hari setelahnya, kami mengarungi lautan ditemani orang-orang dari sekoci tadi. Beberapa kali kami melihat dermaga kecil yang ramai, di salah satunya, ada orang-orang yang memperbolehkan kami menepi. Di sana, kami duduk dan bercerita, seperti kawan semasa remaja yang bertemu kembali setelah sekian lama. Mereka mengelus-elus punggung aku yang telanjang, juga aku yang kamu kenali saat ini, menguatkan kami untuk menempuh perjalanan berikutnya. Mereka juga bertanya,
Apa kalian yakin? Kalian bisa berlabuh di sini juga, jangan sungkan.
Aku yang telanjang menggeleng lebih dulu, dia tampak lebih yakin dari aku yang kamu kenali saat ini. Sejujurnya aku ragu, juga mulai merasa penat dan tidak yakin dermaga yang ingin kami tuju itu benar-benar ada. Tapi karena aku sudah berjanji untuk menemani aku yang telanjang itu pulih, maka aku pun mengikuti apa yang ia mau.
Lalu layar kembali terkembang. Kami duduk di perahu bersisian, memandang ke arah matahari yang memudar. Aku yang kamu kenali saat ini meraih pundak aku yang telanjang, dan ia membiarkan aku merangkulnya. Setelah itu, aku mendengar suaranya,
Apakah mati tenggelam terasa seperti melayang?
Aku menjawab,
Mungkin saja—di dalam laut semua memang terasa lebih ringan.
Aku melihat tetesan air mengalir perlahan dari pelupuk matanya.
Kamu ingin mati?
Iya, tapi mungkin tidak hari ini.
Kami saling bertatapan, lalu berpelukan, lalu menangis sesenggukan, lalu ketiduran, lalu kemudian terbangun lagi, hanya untuk mendapati bahwa perjalanan ini masih belum bisa kami akhiri.
Aku bisa mengingat beberapa orang yang tanpa sengaja membuatku perlu bercerita tentang episode yang kusut ini. Aku juga bisa mengingat sedikit di antaranya yang membuatku merasa bisa merinci episode pemulihan yang baru bermula setelah jeda yang sangat panjang. Tapi, aku sulit mengingat berapa dari mereka yang memungkinkan hal itu terjadi hanya dalam beberapa pertemuan saja.
Seperti beberapa orang yang pernah ada, kamu membuat aku dan nyaris setiap kepingan diriku merasa aman. Dan tidak seperti kebanyakan dari mereka yang sebelumnya, kamu tidak meminta imbalan apa-apa. Kamu justru membendung apa yang awalnya ingin aku beri begitu saja dalam salah satu pertemuan kita. Sejak itu, gumpalan benang di dalam kepala bisa aku tilik, tanpa percik api dan gunting besi berkarat; aku juga bisa menyentuh episode yang membuat berbagai kepingan diri beku dalam aku yang kamu kenali saat ini.
Aku ingin sekali meyakini bahwa, dengan maupun tanpa kamu mengerti, semua ini bisa aku lalui. Tapi, aku paham itu tidak mungkin dan tidak mudah. Jadi, demi segala hal yang telah aku dan kamu miliki jauh sebelum kita bertemu, aku memutuskan untuk menulis surat-surat yang aku bayangkan suatu hari nanti kamu baca, biarpun kita sama-sama tahu, bisa jadi hari itu tidak akan pernah ada.
Namun, untuk sekali ini, anggap saja hari itu akan ada, dan kamu pun membaca cerita tadi sebagai kelanjutan dari isi surat-surat itu. Dalam pengandaian ini, kamu kemudian tahu: jika suatu hari nanti kita bertemu lagi, aku ingin bisa mendekapmu sedikit lebih lama, dan jika boleh, sedikit lebih mesra, tanpa perlu membicarakan apa-apa.
Cerpen Suatu Hari, Kamu Akan Mengerti merupakan cerita pendek karangan Raisa Kamila, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Kehidupan, atau cerpen menarik lainnya dari Raisa Kamila.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi