Romantis
Diterbitkan di Romantis
avatar
waktu baca 28 menit

Suami Idaman

Sudah sepuluh tahun, aku hidup berumahtangga bersama Arjuno, suamiku. Aku sungguh beruntung menjadi istrinya. Mas Juno benar-benar suami impian wanita. Suami yang mencintai istrinya, suami yang memanjakannya dalam banyak hal. Layaknya kapal yang berlayar, Mas Juno sangat pandai mengemudikan kapalnya. Memang kadang ada ombak yang membuat kapal oleng ke kanan dan ke kiri. Namun Mas Juno memang nahkoda yang handal, kapal itu tetap berlayar menuju pelabuhan idaman. Sering kapal berlabuh di beberapa pelabuhan kecil, hanya untuk istirahat sejenak dan sekaligus menikmati keindahan alamnya.

Namun ada satu keresahanku yang sampai tahun ke sepuluh berumahtangga belum dikaruniahi momongan. Apakah aku mandul? Sering aku bertanya dalam hati. Bukankah kesempurnaan istri hanya dibuktikan kalau bisa melahirkan keturunan dari benih yang ditabur suami tercinta.

Sampai pada suatu ketika…

Ingatanku sejenak menerawang perjalanan hidupku dari SMA. Kata teman temanku, gadis usia SMA, ibarat bunga yang sedang mekar, memamerkan keindahan bunga dan aroma wanginya. Juga kata teman-temanku, aku salah satu gadis tercantik di SMA. Wajahku mirip Widowati kala remaja. Apalagi kalau yang mengatakan teman cowok, dadaku mekar mendengar sanjungannya. Sebelum berangkat sekolah, sering aku berdiri cukup lama di depan cermin, menganggumi diri sendiri. Setelah itu, tersenyum. Apa yang dikatakan temen-temen itu benar.

Di kelas satu, ada tiga kumbang yang mencoba mendekatiku, Edy, Joni dan Abimanyu. Dari ketiga cowok tersebut, aku manaruh hati pada Abimanyu yang berasal dari SMP yang sama tapi beda kelas.

“Dewi, kamu cantik, wajahmu mirip bintang film favoriku, Widowati kala remaja.” Kata Abimanyu.

Itu, pertama kalinya aku tertarik pada cowok. Dia satu kelas denganku, anaknya tinggi, potongan rambutnya cepak mirip taruna, anaknya kalem, sedikit pemalu, pandai dalam pelajaran yang memerlukan hitung-hitungan. Aku sering nanya kepadanya kalau menjumpai pelajaran matematika, fisika atau kimia. Otakku kurang mampu mencerna angka-angka dalam pelajaran tersebut. Kalau malam minggu ke rumahku, kadang hanya sekedar ngobrol, kadang hanya main gitar dan nyanyi-nyanyi, kadang jajan di warung bakso Pak Suryani, kadang nonton bioskop atau kadang lainnya.

“Dewi, bolehkah aku menggemgam tangan mungilmu?”

Jantungku berdebar kala mendengar permintaannya. Setelah agak reda aku yang genggam tangannya, dia pun membalas genggamanku dengan kuat.

“Abi, tanganmu dingin sekali.”

Dia diam saja, hanya genggamannya semakin kuat.

“Dewi kita ngebakso di Pak Suryani ya…?”

Malam minggu itu, aku berjalan-jalan bergandengan tangan dengannya, ingin menikmati bakso gepeng Pak Suryani. Malam yang dingin memang paling enak kalau makan bakso. Bagi remaja, warung bakso Pak Suryani sangat spesial. Dindingnya berwarna pink, dengan gambar banyak hati yang kena panah, balon-balon berwarna-warni disertai kata-kata yang bernuansa cinta. Kalau malam minggu, banyak remaja yang datang ke tempat tersebut.

Hubunganku dengannya sangat menyenangkan, dunia begitu indahnya, mungkin itu yang disebut cinta pertama. Saat kenaikan kelas, aku pilih jurusan Bahasa sedangkan dia pilih jurusan IPA. Namun pada akhir semester satu, dia pindah sekolah mengikuti kepindahan orangtuanya ke kota lain. Aku agak shock mendengar perkataannya.

“Dewi, aku terpaksa pindah sekolah, tapi aku mohon hubungan kita tetap berlanjut.”

Aku hanya mengangguk.

Saat awal perpisahan aku masih sering WA-WA an dengannya, namun seiring perjalanan waktu akhirnya WA-WA an hilang tertelan bumi. Mungkin dia sudah ketemu gadis lain yang wajahnya mirip Widowati.

Kala kelas 3 datang BIMA cowok dari kelas 3 IPA mencoba menggandengku. Anaknya gagah, tinggi besar cocok dengan namanya. Hobbynya olahraga, terutama basket ball. Seperti halnya Abimanyu, Bima pun hampir setiap malam minggu datang ke rumahku.

“Dewi, minggu depan, SMA kita lawan salah satu SMA Semarang, nanti jadi pemandu sorak ya…?”

“Oke.”

Memang aku salah satu anggota pemandu sorak di SMA. Kalau ada pertandingan olahraga antar sekolah, pemandu sorak selalu meramaikan suasana pertandingan, memberikan semangat tim yang didukungnya. Malahan pemandu sorak sering dipertandingan dengan pemandu sorak lainnya. Pertandingan yang tidak kalah serunya dengan pertandingan olahraga. Penontonnya kebanyakan cowok-cowok dari SMA yang sedang bertanding.

Namun perpisahan itu pun terjadi. Setelah lulus, dia melanjutkan kuliah di ibu kota untuk mengambil jurusan kedokteran.

“Bima, kenapa tidak kuliah di Semarang saja, bukankah di Semarang ada juga Fakultas Kedokteran? Kita masih bisa ketemu setiap minggu. Aku pun akan kuliah di Semarang mengambil Fakultas Sastra Inggris.”

“Betul Dewi, tapi kata Ayah biaya kuliah ditanggung oleh adik Ayah yang tinggal di Jakarta. Lagi pula fasiltasnya tidak selengkap yang ada di UI.”

“Terus bagaimana hubungan kita?”

“Tetap berlanjut, bukankah kita bisa komunikasi lewat HP?”

Jujur, aku tidak terlalu yakin. Perkiraanku menjadi kenyataan, telepon dan WA semakin lama semaki jarang dan akhirnya tidak terdengar lagi bagai disapu angin. Hubungan dengan Bima pun persis sama dengan hubunganku dengan Abimanyu.

“Dewi, nampaknya hubungan kita tidak bisa dipertahankan, kesibukanku tidak memungkinkan.” Kata Bima.

Kata teman yang lebih dewasa, memang begitulah percintaan remaja. Masih mencari-cari bentuk apa yang dinamakan cinta? Malahan ada yang bilang itu kan cinta monyet. Aku tidak tahu kenapa untuk urusan cinta, monyet dilibatkan.

Memasuki perguruan tinggi, aku memilih Fakultas Sastra Inggris, bahasa Inggrisku cukup bagus. Sebagian besar mahasiswanya didominasi cewek, cantik-cantik lagi. Banyak mahasiswa dari fakultas lain sering ikut nongkrong di café Fakultas Sastra Inggris. Dari nongkrong sendiri biasanya setelah beberapa bulan diikuti nongkrong berdua dengan salah satu mahasiwi dari Fakultas Sastra Inggris.

Saat tingkat satu, seniorku tingkat tiga, Alex, mendekatiku. Namun hubunganku dengannya tidak berlangsung lama. Dari cerita teman-teman, Alex itu Don Juan. Awalnya aku tidak percaya, namun suatu ketika aku menjumpai dia menggandeng cewek di pusat perbelanjaan.

“Mas Alex, hubungan kita sampai disini saja.”

“Dewi, aku mencintaimu, apa yang salah padaku?”

“Nggak ada yang salah, hanya aku nggak cocok saja sama kamu.”

Saat tingkat tiga, ada lagi kumbang, Anton dari Fakultas Teknik yang sebentar lagi menyandang gelar Sarjana Teknik. Setelah lulus Anton ditugaskan ke Kalimantan. Dari pengalamanku dengan Abimanyu dan Bima, pacaran jarak jauh cenderung putus ditengah jalan.

“Mas Anton, pilih Dewi atau kerja di Kalimantan.”

“Mas Anton pilih dua-dua, Dewi dan kerja di Kalimantan.”

“Nggak bisa, harus salah satu, Dewi beri waktu satu minggu.”

Setelah satu minggu, Mas Anton lebih memilih kerja di Kalimantan. Aku pun menyadari bahwa mencari kerja tidak gampang.

“Dewi, ma’af kan Mas Anton. Kalimantan menjadi pilihan Mas Anton, bukan apa-apa. Mas Anton masih menanggung biaya sekolah adik-adik. Jika Mas Anton sudah mapan nanti akan menjemput Dewi.”

Itu sekelumit 4 lelaki yang pernah mengisi relung hatiku. Keempatnya berpisah dengan caranya sendiri-sendiri. Namun secara umum, jarak menjadi salah satu factor utama perpisahanku.

Mas Juno, merupakan lelaki yang kelima yang singgah di hatiku. Perkenalan yang tidak sengaja. Kala itu aku sedang belanja di super market, saat akan membayar, dompetku yang aku simpan di tas tidak ada. Aku panik, karena di dompet selain uang juga berisi berbagai kartu penting. Lelaki dibelakangku sepertinya tahu aku dalam kesulitan. Dia langsung kedepan.

“Mbak, tolong dihitung.” Kata lelaki itu kepada cashier.

Dia pun membayarnya dan menyerahkan barang yang aku beli, sementara dia sendiri hanya membeli makanan cemilan dan minuman ringan.

“Terima kasih Mas.”

“Mbak kalau boleh kita duduk sebentar di café, menenangkan pikirkan, sambil dingat kembali tentang keberadaan dompet.”

Ajakan itu aku turuti. Memang aku sedang panik. Duduk sebentar menerima tawaran lelaki yang membantu membayarkan barang belanjaanku sambil mengingat-ingat dimana dompet aku taruh.

“Kenalkan, saya Arjuno, biasa dipanggil Juno.” Sambil mengulurkan tangannya.

“Saya Dewi Yuniati, biasa dipanggil Dewi.”

Itulah perkenalan pertama dengannya. Gengamannya begitu kuat, matanya menatap mataku. Dheg jantungku bergetar, buru-buru aku mnunduk, aku tidak kuat menatap matanya.

“Coba Mbak Dewi ingat-ingat dimana dompetnya?”

“Ya…, ya…, sekarang saya ingat di meja dekat cermin. Kala itu saya terburu-buru berangkat belanja.”

Arjuno, aku taksir usianya sudah di atas 30 tahun. Sesuai dengan namanya, orangnya gagah, romantis dan penuh perhatian. Meski masih tergolong muda, tetapi kehidupannya sudah mapan, menjadi direktur perusahaan miliknya sendiri, bahasa kerennya menjadi eksekutif muda. Penampilannya selalu keren. Pakaian, jam tangan dan sepatu selalu bermerk. Mempunyai rumah sendiri di kawasan prestisius, mobil dan motor yang berkelas. Lelaki yang sempurna, kalau boleh aku memberi nilai, angka 100 akan kuberikan kepadanya. Sempurna.

Hubungan yang menyenangkan, hampir setiap minggu rekreasi di berbagi tempat di sekitar Semarang. Sebagai wanita yang sudah memasuki masa puncak kecantikan, aku sudah harus memikirkan perkawinan lebih serius. Usiaku sudah mendekati kepala 3, orangtuaku selalu menanyakan kapan menikahnya.

“Dewi, hubungan kita sudah 5 bulan, aku akan melamarmu.”

“Apakah yang membuat Mas Juno yakin melamarku.”

“Aku mencintaimu.”

“Mas Juno, sejak SMA, aku pernah mempunyai 4 teman dekat, dua di SMA dan dua di perguruan tinggi. Mereka selalu bilang Dewi aku mencintaimu.”

“Dewi, pokoknya aku mencintaimu. Bulan depan aku akan melamarmu.”

“Apakah karena aku cantik?”

“Ya, itu salah satu diantaranya.”

“Apa yang menyebabkan Mas Juno mencintaiku?”

“Dewi hal itu tidak perlu dipertanyakan, cinta adalah cinta. Kadang kita tidak bisa menerangkannya.”

“Mas Juno, apakah akan mengizinkan kalau Dewi menjadi wanita karier daripada menjadi ibu rumahtangga.”

“Ya…, nggak apa-apa.”

“Mas Juno, Dewi nggak bisa masak.”

“Ya…, nggak apa-apa. Nanti kita beli makanan jadi.”

“Mas Juno, Dewi itu malas kalau harus beres-beres rumah.”

“Ya…, nggak apa-apa. Simbok yang akan membereskan. Dewi tinggal perintah.”

Pokoknya kalau ada pertanyaanku tentang ketidakmampuanku dalam mengurus rumah tangga, dia menjawab dengan entengnya. Mungkin Mas Juno sudah terbiasa mengelola pegawai.

Kala aku sampaikan kepada orangtuaku kalau Mas Juno akan melamarku, orangtuaku sangat gembira.

“Dewi semakin cepat semakin baik. Bapak dan Ibu dapat segera menggendong cucu. Engkau satu-satunya keturunan Bapak, dan keturunan kita tidak boleh putus. Bapak berharap dapat menggendong cucu yang banyak darimu.”

Perkawinan itu pun terwujud. Mas Juno betul-betul memanjakanku. Bulan madu bukan hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri. Jepang dengan keindahan Gunung Fuji disertai dengan keindahan bunga Sakura. Perancis dengan Menara Eiffel, juga museum Louvre ini terletak di tepi Sungai Seine tepatnya di Istana Louvre. Amrik, dengan Patung Liberty di Manhattan, Grand Canyon, tempat wisata yang terletak di Arizona utara ini dikenal sebagai salah satu tempat wisata terbaik di Amerika Serikat. Ya itu hanya beberapa tempat wisata yang aku kunjungi saat bulan madu di luar negeri. Waktu lainnya, tempat-tempat yang indah di dalam negeri dan luar yang pernah aku kunjungi jauh lebih banyak.

Namun yang sedikit mengherankan bagiku selama perjalanan pernikahan yang sudah 10 tahun, Mas Juno tidak pernah menanyakan kenapa aku belum hamil juga. Aku malahan yang sering memancing tanggapannya.

“Mas Juno, kenapa ya… Dewi belum hamil.”

“Ya…, belum saatnya saja.”

“Mas, Dewi risih kalau dengar tetangga nggunjingi Dewi belum hamil.”

“Nggak usah didengerin.”

Pernah aku bersama Mas Juno periksa ke dokter sepsialis kandungan.

“Ibu Dewi dan Mas Juno sehat-sehat saja. Tidak ada yang dikhawatirkan. Belum waktunya saja.” Kata dokter.

Teman-temanku yang sudah menikah, mereka sudah punya anak minimal dua. Begitu gampangnya mempunyai keturunan. Sungguh aku kurang paham.

Pikiranku masih belum terlepas dari kehamilan mengapa selama 10 tahun perkawinannya belum ada tanda-tanda kehamilan. Kesimpulan sementara dariku, aku mandul atau Mas Juno bibitnya kosong.

Hari itu, Mas Juno ada tugas luar. Memang Mas Juno paling tidak satu bulan dua kali tugas luar. Pagi nan cerah, aku duduk sendirian di bagian belakang rumah menikmati kehangatan mentari pagi. Tiba-tiba aku ingat, tadi malam mimpi, ada ruang di kamarnya.

Berbegas aku menuju kamar, digesernya tempat tidur. Terlihat ada satu ubin yang tidak terlalu rapat. Aku curiga. Betul saja ubin tersebut dapat dibuka. Dilihatnya ada tangga untuk menuju ke bawah. Dengan keberanian yang aku paksakan aku turun ke bawah. Berbekal senter, aku cari tempat saklar listrik, aku hidupkan. Ruangan yang tidak terlalu besar, tempat menyimpan berbagai barang. Terlihat 5 peti yang tidak terlalu besar yang diletakkan berjejer. Dengan hati berdebar, aku buka peti satu persatu. Peti pertama peti itu berisi tumpukan perhiasan dari emas, peti kedua berisi batangan emas, peti ketiga berisi tumpukan uang dollar Amrika, peti keempat berisi benda berharga yang pernah dipakainya, jam tangan, ikat pinggang, cincin berlian, gelang rantai dari emas.

Entah mengapa ketika akan membuka peti kelima degup jantungku semakin keras. Perlahan aku buka, ternyata hanya berisi 3 album. Album pertama berisi kumpulan fotoku baik sendiri maupun bersama Mas Juno yang tertata rapi. Foto-foto yang diambil saat santai, saat rekreasi, saat makan di warung Tegal dan saat-saat lainnya. Aku sendiri sudah lupa akan kenangan tersebut. Aku tersenyum sendiri, Mas Juno memang sangat romantis. Bahagia rasanya.

Album kedua aku buka dengan pelan. Detak jantungnya berdebar dengan cukup keras, mataku mulai berkunang-kunang. Terlihat dengan jelas Mas Juno menggendong anak kecil, di sebelahnya wanita cantik menggandeng tangannya. Dengan tangan bergetar aku ambil album ketiga. Detak jantungku semakin keras, mataku semakin berkunang-kunang. Terlihat anak perempuan kecil, berada di tengah digandeng oleh Mas Juno disebelah kanan dan wanita cantik yang tidak kalah cantiknya dengan yang pertama di sebelah kiri. Mereka tertawa menunjukkan kebahagiannya.

Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa. Pingsan.

TAMAT

Cerpen dengan judul "Suami Idaman", telah berhasil dimoderasi dan lolos ditayangkan oleh tim editor.

Cerpen Suami Idaman merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Romantis, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.


Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar: 1 tahun yang lalu. Bagaimana menurutmu gengs? apakah agan menyukai tulisan cerpen dari Bambang Winarto? jika agan menyukai cerpen ini, silahkan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs.


Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.

Promosi Via Guest Post!

Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈

Hai gansis! 🧑‍🦱🧑‍🦰 Yuk coba seru-seruan bareng komunitas dengan menggunakan asisten AI cerdas. Caranya sangat mudah, cukup dengan memberikan tagar dan mention [#tagargpt & @balasgpt] pada balasan agan dan sista di sini.

25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.


Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi

Dilarang mengirimkan pesan promosi, link, spam dsbg. Namun jika agan ingin menyisipkan link (promosi), silahkan pergi ke halaman hubungi moderator kami. Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik yang ada. Untuk informasi selengkapnya, silahkan baca aturan di sini.

Komentar