“Heii … Putri, sadar. Put.” Dalam keadaan cemas Najmi berusaha menyadarkan raga yang hilang kesadaran.
“Putri … Heii … Sadar.” Sejoli mata Putri terbuka kecil. Dia menangkap sinyal mendengar seruan Najmi memanggil namanya. Dan membawanya kembali ke dunia nyata.
“Aku ga apa-apa, Aku kuat. kalian jangan khawatirin Aku.” Setelah kalimat itu terucap dalam kurun waktu 3 detik. Gadis berparas pucat kesi itu pingsan lagi. Suasananya semakin tegang sekarang. Entah penyakit apa yang menggerogoti organ tubuhnya, dia akan selalu menutupi rahasia terbesar dalam hidupnya.
Pii mengulurkan ke dua tangannya menyelinap masuk ke bagian tertentu leher serta kakinya. Perlahan dia mengangkat tubuh Putri dalam perasaan tak karuan. Sepasang kaki Pi’i mula berayun yang akan mengatarnya pulang.
Tetapi di dalam perjalanan Pii terperanjat. Kedua mata Pii membulat kecang menunduk ke bawah. Pii melihat ke arah tabung obat yang melanting dari saku bajunya hingga jantuh ke tanah. Pii berurai air mata. Tangisannya paling nelangsa pecah, meraung-raung tanpa jeritan.
Pi’i paham obat itu untuk meredam rasa nyeri tatkala, rasa sakit menyerang di bagian kepala sang gadis yang ia cintai. Sungguhan Pii sangat mencintainya.
Duka berkepanjangan yang selama ini Putri simpan dalam-dalam, dalam rahasia hal terbesar dihidupnya. Dan kini, bagi seorang pemuda social genius, itu bukanlah sebuah rahasia lagi.
Keesokan harinya.
Di pertengahan jam istirahat. Najmi mendudukan tubuhnya di bangku kantin. Najmi tidak sendirian. Dia duduk berdampingan dengan Putri.
“Put, kenapa kemarin kamu bisa pingsan? sebenarnya kamu sakit apa?” Desak Najmi mencari tahu penyakit apa yang setiap detik menggerogoti kepala Putri yang diselubungi kain hijab.
“Kalau aku kasih tahu sekarang, kamu pasti mengasihaniku, bahkan menangisiku. Aku enggak mau semuanya terjadi, Mi.” Obrolan mereka terjeda dengan adanya bocah tanggung mencuri pandangan sepasang dua gadis cantik ini.
Ya, Pii berdiri terpancang di depan kantin. Najmi, Putri Sudah terkesiap sedari tadi sedangkan Jaka dan Gempi. Datang lebih lambat dua detik setelah hadirinya Pii. Mereka berkumpul di hadapan bocah social genius hendak mengumandangkan intruksi ide yang menyeruak dari cemerlangnya pikiran.
“Aku ada solusi untuk mengusir Pak Saipul dari sekolah, tapi kita harus bekerja sama.” Mereka dengan seksama menyimak solusi terbaik yang akan Pi’i utarakan.
“Najmi, Putri, Gempi dan Jaka. Kalian semua harus menyakinkan ke seluruh siswa yang ada di sekolah ini untuk mengisi jawaban dengan gambar apa pun yang kalian suka.” Mereka semua terperangah dengan solusi Pi’i sangat mengadung risiko. Seandainya ada salah satu siswa yang mengingkari solusi tersebut. Pastilah masa depan seluruh siswa terancam, Tetapi dia sangat yakin kepada keempat sahabatnya, mereka sanggup menerima titah dari sang social genius.
Tiada perdebatan dengan hal menyolusi gemilang ide yang Pi’i tuturan seanak-akan mereka sependapat kalau itu adalah solusi luar biasa. Berbisa.
Najmi, Lusi, Gempi dan Jaka. Setelah mendapatkan titah dari bintang sekolah. Mereka menyelubungi seluruh ruangan kelas. Siswa dan siswi tak luput mendengarkan solusi yang Pi’i sudah rancang dengan kecerdasan dalam nilai-nilai sosialis. Tetapi entah solusi ini berhasil atau tidak? Seandainya rencananya gagal, itu bukan salah Pii, sebab mereka tidak saling kompak untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Di mana hari ulangan kenaikan kelas dimulai. Waktunya hanya 90 menit untuk mengisi lembaran jawaban, dan setiap murid harus memperoleh nilai 85. Ini tak wajar!
Terlihat di dalam kelas seluruh siswa dilanda ketegangan tengah mengerjakan ulangan bahasa indonesia. Ya, benar akademi itu yang mengajar Pak Saipul, jadi hari ini lah rencana Pii akan di jalankan untuk menggeser Pak Saipul dari tepat duduk seorang guru. Semoga mereka menjadi satu dalam hal bekerja sama. Jika tidak pastilah banyak jiwa yang depresi lantaran tidak naik kelas.
Dalam kondisi masih bersitegang. Waktu 90 menit melejit dalam putaran jarum jam. Mereka telah usai melaksanakan ulangan sekolah.
Saat kertas jawaban bahasa indonesia diperiksa oleh kepala sekolah dan disaksikan Saipul. Hasilnya Sungguh sangat mencengangkan. Benar-benar kekompakan mereka tak diragukan lagi seluruh murid hanya mengisi lembar jawaban dengan sebuah gambar abstrak.
“Pak Saipul, coba anda lihat kertas ulangan ini.” Ujar kepala sekolah menjajarkan hasil ulangan di meja kerja. Bola mata Saipul membulat kecang menyorotkan pandang meradang. Giginya menggeretak menahan emosi yang meletup.
“BRENGSEK!! INI SEMUA KONSPIRASI MEREKA INGIN MENJATUHKAN SAYA” Bentaknya sembari menggebrak meja kuat-kuat memuntahkan emosionalnya di ruang guru.
“Hasil ujian ini membuktikan kalau Anda tidak becus dan tidak pantas menjadi seorang guru.” Hardik kepsek dengan ketus.
“HAH! Apa kau sudah gila, Kau ingat Pak tua, saya Sudah banyak berbuat apa pun untuk sekolah ini. Dan sekarang saya akan menghukum seluruh siswa.” Bantah Saipul tak kalah sengit dalam menyampaikan emosi.
“Sudah, cukup. Tidak ada hukuman lagi. Sekarang silahkan anda keluar. Tinggalkan tempat ini.” ujar kepala sekolah seraya merentangkan teluntuknya ke arah pintu.
Dalam perasaan sangat kesal kian berang. Saipul melangkah sampai keluar gerbang sekolah, lalu disambut riuh kegembiraan siswa dan siswi terdengar didalam gedung sekolah. Bergemuruh melebihi pasar malam. Ini semua berkat gemilang ide pemuda tanggung social genius, dan kerja sama yang kompak sangat.
Kelima pemuda tanggung itu, tengah merayakan pesta kenaikan kelas yang diselenggarakan di lapangan sekolah. Mereka berkumpul merapatkan barisan berbentuk seperti lingkaran yang berada di tepi lapangan.
Putri melempar tatapan mesra ke arah Pii yang berada di seberang matanya, dan Pii tersipu malu. Bagimana tidak Pii berhasil memberangus tantangan dari Putri. Putri merelakan belahan jiwanya untuk Pii miliki seutuhnya.
“Aku bangga denganmu Pii, selalu mengatasi masalah yang sulit dengan cara sederhana.” Suara itu menyeruak dari hati kecil Putri. Tak terbebang.
Dengan sekejap sang gadis yang diselubungi kain hijab mengerang sakit lagi. Darah kental mengalir dari dalam rongga hidung. Kepalanya kembali terasa sakit yang sangat luar biasa. Dia berusaha agar tetap tidak hilang kesadaran dalam posisi duduknya. Dalam keadaan cemas mereka merapatkan ke tubuh Putri yang ingin kejengkang, namun Pii Lebih dulu meraih tubuh Putri dari belakang. Dalam dekapan Putri meronta seakan-akan dia tak sudi Pii menyentuhnya.
Lantas Putri berdiri terpacang didepan keempat sahabat itu. Beberapa detik berikutnya, Putri membuka kain hijab. Mereka tercengang sejadi-jadinya. Terlihat jelas kepala Putri botak dan ada bekas jahitan di bagian tempurung kepalanya.
“Ada tumor yang sangat jahat menggerogoti tiap detik di kepalaku.” Mereka terperanjat hingga nyaris onggokan jantungnya keluar dari sangkarnya.
“Jahitan di kepalaku ini bekas operasi 4 bulan yang lalu, dokter bilang umurku tinggal 3 hari lagi, Tapi aku nggak percaya. Lihat tubuhku mana kuat aku bertahan selama itu.” Tak kuat, Gempi tak kuat mendengar keluhan itu, hingga air matanya menyungai di pipi.
“Kasihan ya, Putri” Suara Gempi menggeragap ditelan sesak.
“STOP! Jangan menangisiku. Aku masih bernapas belum jadi mayat, buat apa menangisiku.” Putri berang sembari memakai kain hijabnya kembali. Dia hanya tidak ingin kalau sisa hidupnya ditandai dengan kesedihan.
“Aku punya obat yang bisa menghilangkan sel kanker di kepalamu.” Ucap Pii. Entah apa yang ingin Ia perbuat sebelum takdir merangkul jiwa Putri. Dengan cergas Pii mengulurkan tangannya dihadapan gadis yang berharap menerima obat paling ampuh dari bocah sosial genius. Tatapan mereka terpaut mesra, lalu Putri mengapit jemari Pii kuat-kuat. Seolah dia tidak ingin waktunya terbuang sedetik pun tanpa ada napas Pii di dalam hidupnya.
“Aku akan membawamu diatas ketinggian 5 meter di sana kamu boleh berteriak dan tertawa sepuasmu. Ada terpaan angin yang tidak akan memedulikan rasa sakitmu. Ada siratan cahaya bintang yang tidak akan memedulikan sisa hidupmu. Ada aku yang tidak akan membiarkanmu terjatuh. Angin dan bintang akan membunuh rasa kesedihanmu tanpa harus mendengarkan keluhanmu. Mereka akan membuatmu menari diatas sana seolah kamulah ratunya.” Pii mengucapkan kata-kata itu bak seorang pujangga.
Pii membawa putri ke atas balkon sekolah. Diiringi dengan ke tiga temannya yang berada di belakang. Sesampainya di koridor sekolah dalam ketinggian 4 meter. Langkah kaki mereka terhenti.
“Tutup matamu, Put” kata Pii. Entah apa yang ingin dia lakukan, Putri hanya menuruti perintahnya. Dia tahu, Pii punya banyak cara membuat hatinya selalu bahagia.
“Jangan membuka mata. Sebelum aku menyuruhmu.” Dalam kondisi mata terpejam, Pii membawanya lagi ke suatu tempat yang tak akan dia lupakan. Tempat itu balkon sekolah ketinggiannya 5 meter setara dengan genting sekolah. Luasnya cukup untuk dua orang. Dan, posisi persisi di belakang ruang perpustakaan. Walaupun balkonnya tanpa penyangga Pii paham struktur bangunan ini, tak akan dia biarkan Putri sampai celaka.
Sesampainya di belakang perpustakaan Posisi mereka di depan selonjor tangga yang mengarah ke atas balkon sekolah. Dengan cergas Pii memberi instruksi kepada perempuan yang mengidap penyakit kanker.
“Injak satu persatu tangganya Put,” Instruksi Pii sembari menggenggam jemarinya. Dalam mata masih terpejam, kedua kaki Putri menjejak anak tangga. Di atas ketinggian 5 menter dia merasakan ada angin barat yang membelai sekujur raganya.
“Sekarang kamu boleh membuka matamu.” Kedua bola mata yang dijepi kelopak perlahan terbuka. Hati kecilnya berdecak kagum. Bibir mungilnya tersenyum lepas seakan-akan dia tak memedulikan rasa sakitnya. Dalam radius mata memandang. Di atas ketinggian 5 meter. Putri melihat beribu lampu di desa ini menyala terang. Panorama keindahan melesak ke kedalam dadanya. Dia ingin melihat ke indahan lain. Kepalanya mendongak ke atas sorot pandangannya menatap ribuan bintang bertabur di langit malam menyelimuti pagu luas membentang.
Beberapa menit kemudian, Putri mengindahkan tatapannya kepada sosok penuh cinta yang berada di sampingnya.
“Pii, aku masih punya hutang hadiah sama kamu, kamu ingatkan waktu itu kamu minta hatiku.” Suara Putri terbawa angin dari barat. Tetapi Pii bisa mendengarnya.
“Enggak, aku cuma pura-pura. Karena hatimu bukan taruhan. Kecuali kamu memberikan hatimu untukku.” Kata Pii diplomatis, Putri semakin yakin kalau-kalau hatinya patas Pii miliki.
“Aku mencitaimu.” Lubuk hati Putri menyenandung untain cinta. Diatas ketinggan 5 menter. Mereka menjalin asmara yang tak akan pernah mereka khianati. Di atas ketingian 5 meter. Kematian tak akan ada artinya lagi selama dia memiliki cinta.
Di atas ketinggian 5 meter. Jemari tangan mereka saling terikat kuat. Tatapan mereka saling terpaut dengan penjiwaan yang tak beda.
“Ciyee … Ciyeee … Jadian nih yeee!!” Gempi dan Jaka yang sedari tadi hanya menunggu di bawa tangga. Mereka mengejek sepasang manusia tengah memadu kasih, tetapi tidak dengan Najmi, dia memilih tetap bungkam. Ada luka kecil yang menggores di selaput hatinya. Najmi tahu, cinta mereka hanya sementara, dia merelakan belahan jiwanya dimiliki orang lain. Sebab cinta adalah simbol pengorbanan.
4 hari berlalu cepat bagai roket. Kemarin mereka sudah melewati hari kedukaan dan hujan air mata. Sekarang hanya tinggal mengikhlaskan sebuah nyawa yang sudah dirangkul Tuhan. Putri perumpuan tanguh yang tak mengenal rasa mengeluh saat melewati cobaan terbesar dari Tuhan. Melalui penyakit kanker yang setiap detik menggerogoti kepalanya.
Di gang Argabel, Najmi, Putri dan Pii. Mereka jalan beriringan menuju ke suatu tempat yang dia rindui. Posisi Putri berada di tengah-tengah. Sesekali menoleh ke arah Pii. Putri pun membuka percakapan yang keluar dari pintu hatinya.
“Betapa tulusnya Najmi menyatukan kita. Dia merelakan mimpi indahnya untukku dan, Dia merelakan aku memilikimu. Jika kaulah belahan jiwaku. Pii adalah malaikat yang memperjuangkan kebahagiaanku.” Najmi dan Pii melepaskan senyumannya.
Dalam radius mata memandang mereka disuguhi hamparan undukan tanah merah. Sementara mereka menancapkan kaki di samping mendiang itu, hati mereka pun ikhlas melepaskan. Putri merentangkan lenganya di bahu Najmi.
“Najmi sahabatku, kamu pantas bahagia.” Putri berjalan ke arah Pii yang sedang menatap undukan tanah merah dengan hiasan bunga di permukaan tanah, Putri beralih tepat berada di samping Pii. Ada lanjutan pesan yang ingin Putri ucapkan.
“Milikilah ia. Dan jadialah masa depannya untukku.” Najmi menarik napas dalam-dalam terasa berat dan sesak, lalu ia menghembuskan napasnya diatas batu mendiang yang terukir nama Putri Nurjanah.
“Putri sahabatku. Kematian hanya menghentikan hidup, bukan cinta dan kebahagiaan.” Suara Najmi membelai namanya.
Cerpen Social Genius (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Faisal Fajri, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Romantis, atau cerpen menarik lainnya dari Faisal Fajri.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi