Humor
Diterbitkan di Humor
avatar
waktu baca 20 menit

Pencuri Level Tujuh

Pencuri itu menengok ke kanan dan kiri, selanjutya meloncati pagar yang lumayan tinggi. Perlahan didekatinya jendela, diambilnya obeng dan peralatan lain yang sudah dipersiapkan. Kembali dia melihat ke kanan dan ke kiri, diam sebentar mengambil nafas, kemudian bergegas membobol jendela. Dalam hitungan detik, jendela sudah bisa dimasuki.

Pencuri memang sudah menjadi profesinya. Dia sangat menikmati pekerjaannya. Menjelang hari raya, dia harus lebih hati-hati. Bukan hanya kepada penghuninya, tapi lebih kepada masyarakat sekitarnya. Dia lebih senang dan memilih mencuri di perumahan mewah, tidak ada penjagaan dari warga. Mereka lebih mengandalkan satpam untuk menjaganya.

Sebagai pencuri dia tidak mau berkonspirasi dengan sesama pencuri. Sangat riskan dan berbahaya. Jika temannya tertangkap dia juga secara otomatis akan tertangkap atau paling tidak menjadi buron. Oleh polisi, dia diklasifikasikan sebagai pencuri level ketiga, pencuri yang belum pernah tertangkap. Sepertinya polisi sudah punya daftar pencuri level pertama dan level kedua.

Pencuri level pertama itu sebenarnya penjabret yang sering beroperasi di pasar atau tempat keramaian, sedangkan pencuri level kedua adalah pencuri yang mencegat korbannya di tempat sepi. Dia tidak mengetahui apakah masih ada level pencuri di atas level tiga. Kalau ada, dapat dipastikan pencuri tersebut jauh lebih hebat darinya.

Dari primbon Jawa yang dipelajari, dia menyakini malam Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon saat yang tepat untuk melancarkan aksinya. Dia pun tidak lupa selalu memanjatkan doa sebelum melakukan aksinya.

“Ya… Tuhan, mudahkanlah aku dalam melaksanakan pencurian, lindungilah aku, jangan sampai aku tertangkap, sebesar 2.5 % dari hasil yang aku peroleh akan aku sumbangkan kepada masjid atau yayasan yatim.”

Sudah beberapa hari dia mengamati rumah yang akan dijadikan sasarannya. Rumahnya cukup mewah, berlantai dua, berada di kopleks perumahan yang penjaganya relatif sedikit. Penghuninya hanya berdua, lelaki yang sudah lanjut, dia taksir usianya diatas 70 tahunan dan wanita muda yang umurnya jauh dibawahnya. Dia kurang tahu apakah wanita itu istrinya, selingkuhannya atau anaknya.

Malam itu, penghuninya hanya lelaki itu sendiri, wanita muda yang biasa menemaninya pergi bersama lelaki muda dengan mengendarai mobil berkelas yang biasa diparkir di depan rumahnya. Kamar di lantai dua terlihat redup, artinya lelaki yang ada di kamar sudah berada di tempat tidur. Tidak terlalu sulit dia masuk rumahnya melalui jendelanya sudah dibuka. Ditutupnya kembali jendela. Pada lantai satu, dilihatnya barang-barang ada. TV yang cukup besar, mungkin ukurannya 70-79 inch, jam berdiri dengan tinggi sekitar 2 meter yang dilindungi dengan kayu jati dan perabot rumahtangga lainnya. Dia tidak tertarik untuk mengambilnya. Barang-barangnya terlalu besar. Memang dia hanya berniat mengambil barang-barang yang kecil tapi cukup berharga. Apakah jam tangan, cicin, emas, uang atau yang lainnya. Pokoknya yang mudah dibawa.

Dia yakin barang-barang berharga berada di lantai 2, di kamar penghuninya. Perlahan dia menuju lantai 2. Dirabanya pistol yang berada di jaketnya. Dia melihat kamar setengah terbuka. Perlahan, pintunya didorong. Dilihatnya seorang laki-laki terbaring di atas ranjang. Di atas meja terserak barang-barang: HP, laptop, uang kertas, arloji, asbak dengan puntung rokok, obat-obatan, cemilan, secangkir kopi yang tinggal separoh.

Dia menuju lemari yang tidak jauh darinya dengan tetap memperhatikan lelaki yang berbaring. Tiba-tiba lelaki di ranjang mengerang dan membuka mata. Tangan kanannya menyelinap ke bawah bantal, sepertinya akan mengambil sesuatu.

“Jangan bergerak,” ujarnya. Saat mengucapkan intonasinya sangat tenang seperti orang sedang berbicara. Pistol kaliber 38mm diarahkan kepada lelaki itu.

“Angkat tangan!”

Lelaki itu bangun dan duduk di ranjang serta mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.

“Angkat tangan dua-duanya.”

Lelaki itu masih tetap mengangkat satu tangan kanannya.

“Saya hitung sampai tiga kali, satu, dua, tiga. Cepat! Sekarang!”

“Saya tak bisa mengangkat tangan yang sebelah kiri.” Jawabnya.

“Kenapa?”

“Bahu sebelah kiri saya rematik, mendekati lumpuh.”

Beberapa saat, pencuri berdiri diam, memindahkan pistol ke lengan sebelah kiri.

“Aduh.” Pencuri teriak dan meringis menahan sakit.

Laki-laki itu menatap wajah pencuri. Antara percaya atau tidak, wajah pencuri itu memperlihatkan wajah kesakitan ketika memindahkan pistolnya.

“Kalau kau mau mencuri, kenapa tidak langsung saja? Ambil yang kamu mau. Aku tidak mungkin melawanmu. Pistolku sudah kamu ambil, lagi pula aku sudah terlalu tua untuk berkelahi.”

Pencuri itu melirik laci. Dia menatap laki-laki di ranjangnya. Tiba-tiba dia meringis kembali, menahan sakit.

“Kita sepertinya senasib.”

“Tangan kiriku juga rematik. Penyakit itu sudah akrab denganku sejak lama.” Kata pencuri melanjutkan.

Pencuri itu menyeret kursi yang tidak jauh darinya dan duduk berhadapan dengan laki-laki. Duduk tidak tidak terlalu dekat, laras pistol tetap diarahkan kepadanya.

“Siapa pun akan langsung menembakmu saat engkau tidak mengangkat kedua tanganmu. Kecuali aku, tentu saja.”

“Sudah simpan saja pistolmu. Aku tidak mungkin melawanmu.”

Pencuri menyimpan pistolnya dan pistol milik lelaki didepannya kedalam saku jaket bagian dalam.

“Sudah berapa lama penyakitmu?” Tanyanya lelaki tua.

“Empat tahun. Sampai sekarang masih sakit. Sekali rematik, seumur hidup tetap rematik. Setidaknya itu yang aku yakini.”

“Benar. Kau benar sekali.”

“Baiklah, karena kita satu nasib, niatku untuk mencuri aku batalkan.”

“Terima kasih. Bagaimana kalau malam ini kita ngobrol sambil ngopi.”

Pencuri itu mengangguk. Lelaki tua itu, mengambil dua cangkir dan diisinya dengan kopi dari termos yang memang sudah tersedia.

“Ngomong-ngomong sudah berapa lama menjadi pencuri?”

“Sudah hampir lima tahun.”

“Apakah pernah tertangkap.”

“Belum, belum pernah. Mudah-mudahan jangan sampai tertangkap. Kalau tertangkap saya pilih tertangkap polisi, ketimbang tertangkap oleh masyarakat.”

“Apakah engkau menikmati sebagai pencuri?”

“Ya.., saya menikmati. Sepertinya mencuri itu sudah menjadi panggilan. Paling tidak dalam satu bulan sekali aku pasti mencuri. Apakah malam Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon.”

“Sampai ada perhitungan waktu kala mencuri?”

“Ya, betul. Aku baca primbon Jawa. Bahkan aku membaca mantra segala.”

“Terus, uang yang kamu peroleh untuk apa?”

“Ya.., untuk keluarga. Apalagi mendekati hari raya, anak-anak pengin baju baru, istri pengin pakai gelang emas dan keperluan lainnya. Oh ya…, 2.5% hasil pencurian yang aku peroleh aku sumbangan ke masjid atau anak yatim.”

“Woow, masih ingat masjid dan anak yatim segala.”

“Seandainya kamu lagi apes, ketangkap masyarakat, pasti dipukuli beramai-ramai. Bisa-bisa kamu tinggal nama saja. Bagaimana dengan anak istrimu? Coba pikirkan pekerjaan lainnya.”

“Iya… sich. Sampai sekarang belum terpikirkan.”

“Kamu sudah tahu ada berapa level pencuri?”

“Setahu saya hanya ada tiga, dan saya termasuk level yang ketiga, pencuri yang belum pernah ketangkap polisi.”

“Wooow hebat.”

“Tapi, menurutku, suatu saat pencuri itu bisa saja tertangkap polisi dan masyarakat. Bukankah ada pepatah yang mengatakan sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali jatuh juga. Betul tidak? Kecuali?”

“Kecuali apa?”

“Kecuali dilakukan oleh pencuri level tujuh, pencuri level tertinggi.”

“Wooow, baru tahu.”

“Boleh saya tahu siapa pencuri level tujuh?”

“Cukup banyak atau malahan sangat banyak pencuri level tujuh. Salah satu diantaranya aku sendiri.”

Pencuri itu menatap laki-laki dihadapannya. Antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin lelaki rapuh dengan usia diatas 70 tahunan mengaku sebagai pencuri level 7. Untuk jalan saja sudah mengalami kesulitan.

“Pasti kamu tidak percaya, bagaimana mungkin lelaki seperti aku bisa menjadi pencuri level tujuh.”

“Kamu tahu siapa yang membangun stadion olahraga terbesar di kota ini? Kamu tahu siapa yang membangun mall terbesar di kota ini? Berapa biayanya?”

Pencuri itu menggelengkan kepalanya.

“Tentu saja yang proyek itu pejabat bisa kepala daerah apakah bupati, walikota, gubernur atau pejabat lainnya.”

Di tatapnya wajah pencuri sebelum melanjutkan ceritanya.

“Bagaimana memperoleh proyeknya? Berapa banyak fee yang harus diberikan kepada pejabat dan penegak hukum?”

“Saya tidak mungkin tertangkap penegak hukum. Yang penting bagaimana saya harus pandai-pandai membagi proyek kepada para pejabat dan penegak hukum.”

“Maksudnya untuk memperoleh proyek-proyek harus memberikan upeti kepada pejabat pemerintah dan penegak hukum?”

“Ya… memang harus begitu.”

“Jadi para pejabat tersebut pencuri level tujuh?”

“Ya…, begitulah.”

Pencuri itu duduk termangu. Tidak terpikirkan olehnya kalau lelaki yang duduk yang dihadapnya pencuri level tujuh, lelaki tua yang sudah rapuh namun dapat mengendalikan pejabat dan para penegak hukum.

Lelaki itu mengambil semua uang yang ada di laci. Dilihatnya pencuri itu masih duduk terpekur.

“Ambillah.”

“Sekarang pulanglah. Uangku ada di berbagai bank tidak terhitung jumlahnya. Jangan lupa sumbangkan ke masjid atau anak yatim seperti yang engkau janjikan.”

“Bulan depan, jangan sungkan datang lagi, nanti akan saya ajak jalan-jalan melihat property yang saya miliki di berbagai daerah.”

Dia juga baru tahu kalau cukup banyak bupati, walikota, gubernur dan pejabat pemerintah yang menjadi pencuri level tujuh seperti halnya lelaki tua.

Pencuri itu pulang dengan kepala tertunduk. Ada rasa gundah di hatiku. Pencuri level tiga yang dibanggakan ternyata bukan apa-apa. Dia bertekad untuk menjadi pencuri level tujuh, berguru kepada lelaki tua itu.

Cerpen dengan judul "Pencuri Level Tujuh", telah berhasil dimoderasi dan lolos ditayangkan oleh tim editor.

Cerpen Pencuri Level Tujuh merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Humor, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.


Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar: 1 tahun yang lalu. Bagaimana menurutmu gengs? apakah agan menyukai tulisan cerpen dari Bambang Winarto? jika agan menyukai cerpen ini, silahkan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs.


Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.

Promosi Via Guest Post!

Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈

Hai gansis! 🧑‍🦱🧑‍🦰 Yuk coba seru-seruan bareng komunitas dengan menggunakan asisten AI cerdas. Caranya sangat mudah, cukup dengan memberikan tagar dan mention [#tagargpt & @balasgpt] pada balasan agan dan sista di sini.

25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.


Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi

Dilarang mengirimkan pesan promosi, link, spam dsbg. Namun jika agan ingin menyisipkan link (promosi), silahkan pergi ke halaman hubungi moderator kami. Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik yang ada. Untuk informasi selengkapnya, silahkan baca aturan di sini.

Komentar