Sudah lebih satu setengah tahun ia merasa kesepian setiap malam menjemputnya. Kesunyian dan keheningan hanya itu yang ia rasakan. Apalagi bila hujan turun, lengkaplah kesendiriannya. Paling-paling ia menonton sinetron atau malahan pergi menuju ke peraduan.
Suaminya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Suaminyalah satu-satunya teman bercanda, ngobrol, curhat dan lebih dari itu tempat memberikan kehangatan saat diperaduan. Sayang, suaminya tidak memberikan keturunan. Padahal, perkawinan sudah lebih dari tujuh tahun tapi ia tidak hamil juga. Ia pun pernah periksa kepada dokter ahli kandungan secara diam-diam. Hasilnya ia dinyatakan sehat.
Orangtuanya sudah kembali ke Wonogiri untuk menikmati masa tuanya. Bisnis jualan baju telah diserahkan kepadanya. Ia ditemani Ginah sebagai asisten rumahtangga yang merangkap membantu jualan baju dan Pardi, sopir pribadinya. Kini, usianya memasuki tiga puluh tiga tahun. Ia bermaksud untuk mencari pendamping, ia masih mendambakan kasih sayang dan kehangatan lelaki. Dengan pendamping itu, ia berharap dapat menjadi ibu yang sebenarnya, melahirkan anak dari rahimnya.
Beruntung ia ikut group WA “WONG WONOGIRI.” Anggotanya lumayan banyak terutama orang-orang dewasa yang berasal dari kota tersebut. Dari WA itulah ia bersua kembali dengan Parjo, cinta pertamanya. Dia telah menjadi duda ditinggal mati istrinya saat melahirkan anak pertamanya. Obrolan dengannya beralih dari chat di group ke Japri.
Suatu ketika ia menerima chact darinya. “Endang, bagaimana kalau cinta kita terdahulu kita sambung lagi?” “Maksud Mas Parjo kita menikah?” “Lha iya. Tapi aku sudah bawa anak satu, apakah Endang mau?” “Yo.., ora popo to.., malahan aku seneng untuk teman bermain. Aku dapat merasakan menjadi seorang ibu.” “Terus kalau kita kumpul, apakah Endang mau tinggal di Wonogiri?” “Ya…, aku manut Mas Parjo. Istri kan mesti nurut sama suami.”
Jantungnya berdetak, hatinya mekar bagai bunga yang sedang memamerkan keindahannya. Benang-benang cinta yang pernah disulam akan dirajut kembali. Hidup bersamanya di tanah kelahirannya bukan lagi mimpi indah di siang hari.
Ia menerawang saat-saat indah bersamanya. Waktu itu, ia kelas satu dan dia kelas dua SMA di desanya. Dia orangnya romantis, pandai bergaul dan lebih dari itu dia memang pandai di sekolah. Ada dua gadis yang menaksirnya, Tini dan Parni, tapi dia lebih memilihku. Katanya, wajahku mirip Widyowati, bintang film favoritnya. Cukup banyak kenangan indah bersamanya. Satu kenangan yang tidak terlupakan hingga kini, ciuman pertama dengannya di Waduk Gajah Mungkur. Dia menggenggam tanganku dengan erat, menyusuri jalan setapak di bawah rerimbunan pohon yang berada di pinggir waduk. Dia menghentikan langkahnya di bawah pohon mahoni, menatapku dengan tajam.
“Endang, aku mencintaimu, apakah engkau mau jadi istriku?” Kata itu yang selalu kutunggu selama hampir satu tahun pacaran dengannya. “Aku juga cinta sama Mas Parjo.” “Endang, engkau belum jawab pertanyaanku, maukah engkau jadi istriku?” “Tentu saja aku mau. Aku sangat bahagia kalau jadi istri Mas Parjo.”
Dia mencium keningku dengan lembut dan perlahan mencium bibirku. Mataku terpejam, badanku gemetar bagai kena strum 3 watt, jantungku berdetak dengan kerasnya. Aku bagai terbang ke angkasa, hampir saja aku terjatuh kalau dia tidak memegang badanku. Ciuman pertama menjadi kenangan yang tidak akan hilang tertelan waktu.
Namun hubungan dengannya terputus karena ia terpaksa mengikuti kepindahan orangtuanya yang mengadu nasib di Jakarta. Ia tidak berani melawan kehendak orangtuanya. Ia pun pasrah ketika takdir menentukan dia bukan jodohnya.
Namun dalam perjalanan hidupnya ketika ia sudah jadi janda dengan usia yang sudah tidak muda lagi mimpi kebahagiaan tumbuh kembali. Doanya untuk memperoleh teman hidup dikabulkanNya. Bahkan, olehNya ia diberi jodoh mantan kekasihnya. “Ya Allah, Engkau sungguh Maha Pengasih.”
Tidak seperti biasanya, sebelum menuju ke peraduan, ia ingin melihat malam yang biasanya dibencinya. Kali ini terasa lain. Bulan didampingi bintang-bintang kecil yang jumlahnya tak terhitung memancarkan sinar lembut. Ia merasa mereka memberikan senyuman kepadanya. Juga, ia pun merasa binatang malam bernyanyi untuknya. Suara burung hantu, kodok, jangkrik dan binatang malam lainnya terasa merdu di telinganya.
Satu bulan menjelang hari perkawinan, hampir setiap minggu ia berbelanja berbagai keperluan untuk dirinya, untuknya dan juga untuk keperluan keluarga yang akan dibangunnya.
Tiga minggu sebelum acara perkawinan, ia telah mentransfer uang untuk berbagai keperluan perkawinan. Memang sudah menjadi tradisi bagi orang Jawa biaya penyelengara perkawinan sepenuhnya ditanggung oleh pihak perempuan. Ia menginginkan perkawinannya diselenggarakan di “Balai Pernikahan”, gedung pertemuan terbaik di Wonogiri yang dapat menampung cukup banyak undangan. Ia juga sudah pesan kepadanya untuk menyewa Event Organizer terbaik di Wonogiri. Hari itu, lima belas hari sebelum acara perkawinan, ia begitu gembiranya. Ia bersama Pardi dan Ginah ke Wonogiri untuk mempersiapkan acara perkawinannya.
Sepanjang perjalanan, beberapa kali Parjo menelepon dirinya. “Endang sampai mana?” “Baru sampai Tegal Mas.” “Sampai Wonogiri kira-kira sampai jam berapa?” “Pagi Mas, sekitar jam 07.00 an.” “Hati-hati di jalan, pagi nanti sekitar jam 09.00 an aku ke rumah Ibu.”
Paginya, dia tepat datang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda motor. Di tangan kirinya terlihat balutan perban. “Mas Parjo kenapa tangan kirinya.” “Sehabis dari Bank mengambil uang kiriman darimu, ditengah jalan Mas Parjo dirampok dua orang. Beruntung saat itu ada yang membantu Mas Parjo. Mereka sempat melukai tangan Mas Parjo, namun mereka tidak sempat mengambil uangnya.” “Terus perkawinan kita bagaimana?” “Ya.., tetap berlanjut.”
Perkawinan berlangsung sesuai jadwal. Acaranya meriah, tamu yang hadir cukup banyak. Senyum ditebarkan kepada para undangan yang memberi ucapan selamat. “Selamat Endang, akhirnya engkau dapat nikah juga dengan Mas Parjo.” Kata Tini. “Terima kasih Tini.” “Selamat Endang, aku iri kepadamu. Tidak dapat jejakanya dapat dudanya.” Kata Parni. “Terima kasih Parni.”
Bulan madu seperti yang telah ia rencanakan, napak tilas di Waduk Gajah Mungkur. Berdua berjalan bergandengan tangan menyusuri jalan setapak menuju pohon mahoni. Mereka berhenti tepat dibawah pohon mahoni, melihat gambar tanda percintaan yang telah diukir di pohon tersebut. Gambarnya masih kelihatan meski semakin samar. Keduanya berpandangan sambil tersenyum. Dia menggemgam kedua tangannya dan menatap matanya.
“Endang, sebenarnya luka di tangan kiri Mas Parjo tidak seberapa, tapi tendangan perampok yang mengenai selengkangan itu yang menakutkan. Mas Parjo telah divonis oleh dokter tidak dapat melakukan kewajiban sebagai suami.” Ia kaget mendengar penuturannya. Pantas saja saat malam pengantin dilalui tanpa cumbu rayu darinya. Dia hanya bilang sangat capai.
“Endang kita duduk di sana,” katanya sambil menunjuk bangku kosong yang tidak terlalu jauh. Mereka pun duduk di bangku yang warnanya sudah kusam. “Endang, apakah perkawinan kita lanjutkan atau kita hentikan saja sampai disini.” Untuk beberapa saat ia diam.
“Mas Parjo, perkawinan kita tetap berlanjut. Endang sudah bahagia bersama Mas Parjo.” Namun sebenarnya telah terjadi pergumulan dalam hatinya apakah perkawinan diteruskan atau dihentikan. Mas Parjo sudah tidak bisa memberikan keturunan, untuk apa sebuah perkawinan dilanjutkan?
Tuhan telah menakdirkan lelaki cinta pertamanya sebagai suaminya tapi Tuhan pula yang menakdirkan ia tidak akan memperoleh anak darinya. Sungguh ia tidak tahu apa rahasia dibalik itu semua.
Ia menyenderkan kepala di bahunya dan tidak berapa lama ia pun tertidur dipangkuannya. Ia masih berharap suatu saat suaminya dapat mencumbunya dan menaburkan benih di rahimnya.
rpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMAN Kendal, mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor (1974-1978). Memperoleh gelar Magister Manjemen (MM) bidang studi Agribisnis dari Universitas Gajah Mada tahun 1993. Bekerja di Kementerian Kehutanan 1979-2010. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya yang fenomenal yang jadi pegangan para rimbawan. Saat ini sedang menekuni penulisan cerita pendek dan juga puisi.
Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR.
Cerpen Impian Yang Sirna merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi