Aku yakin tiap diri seseorang mempunyai firasat, kemampuan bawaan untuk merasakan apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Kala aku kecil setiap kali mata kiri kedutan aku pasti akan dapat sesuatu yang menggembirakan. Apakah akan dapat layangan putus atau hadiah dari ibu atau yang lainnya. Sebaliknya kalau kedutan pada mata kanan, dapat dipastikan aku akan dapat kesialan, apakah jatuh dari sepeda, atau jatuh saat panjat pohon atau yang lainnya. Namun sejak aku mengalami kecelakaan yang cukup berat tanpa adanya kedutan, firasat itu hilang.
Hari itu, setelah lebih dari tiga puluh lima tahun aku kedutan pada mata kananku. Aku sudah tidak bisa menebak, apakah berita baik atau sebaliknya. Semoga sesuatu yang menggembirakan menghampiriku.
“Juno, aku dapat undangan dari Mbak Ninuk untuk datang pada reuni perak yang diselenggarakan angkatanmu. Kata Mbak Nunik, ini atas permintaanmu. Nanti aku datang tapi aku tidak menginap.”
“Terima kasih Dewi, kutunggu dengan tidak sabar.”
Alhamdulillah, berita menggembirakan yang datang. Apakah kedutan mata kanan berarti berita gembira untuk seterusnya? Aku tidak dapat memastikannya.
Dewi, bidadari tanpa sayap yang diturunkan bukan untukku. Dia adik kelasku, salah satu mantan pacarku ketika di SMA. Entah kenapa wajahnya tiba-tiba sering muncul di depanku. Kalau boleh jujur, diantara mantan pacarku, dialah yang paling sering muncul di wajahku. Mungkin karena dia merupakan cinta pertamaku. Jujur pula, dialah yang meninggalkanku tanpa aku ketahui penyebabnya. Melalui secarik kertas yang aku terima dari Nuril, dia hanya bilang “Juno, kita putus, jangan tanya apa penyebabnya.” Sebagai lelananging SMA aku juga gengsi untuk menanyakannya. Namun aku sempat shock beberapa hari. Beberapa gadis yang pernah aku tolak cintanya mengejekku. “Juno, aku siap menggantikan Dewi.” Kata Ratih. “Juno, aduh kasihan dech dicerai sama Dewi.” Kata Ida. Ya…, itu kenangan sepintas dengannya.
“Juno, kamu aku tunjuk sebagai ketua panitia.” Kata ketua suku yang merupakan panggilan untuk ketua alumni.
“Siap ketua. Satu permintaanku, Dewi tolong diundang dan dimasukkan dalam group WA kita.” Kataku.
“Gampanglah. Aku kenal baik dengannya, nanti saya undang khusus.”
“Permintaan kedua, teman-teman yang berada di Semarang dan Kendal harus mendukung sepenuhnya.”
“So…, pasti. Jangan kuatir.”
Itu, dua bulan sebelum acara reuni perak diselenggarakan. Sempat aku tanyakan, mengapa aku yang ditunjuk sebagai ketua panitia. Padahal aku berkedudukan di Bogor, sementara acara akan diselenggarakan di Semarang, ditambah lagi seluruh panitia berkedudukan di Semarang dan Kendal.
“Juno, aku hanya melihat engkau satu-satunya yang layak jadi ketua panitia dalam reuni perak ini.”
Aku merasa tersanjung atas penjelasan dari ketua suku. Reuni perak, reuni 25 tahun telah mengalami penundaan beberapa kali karena Covid 19. Sebagai ketua panitia aku berjanji reuni harus sukses dengan banyaknya jumlah alumni yang hadir disertai acara yang menarik pula. Persiapan dilakukan sepenuhnya secara online. Beberapa kali dilakukan rapat secara online.
Waktu reuni itupun datang tanpa diundang. Tempat yang dipilih salah hotel bintang tiga di Semarang. Hotel tersebut memenuhi syarat yang aku minta, mempunyai ruang pertemuan dan halaman untuk kegiatan senam. Aku sempat khawatir dengan tarifnya yang lumayan mahal untuk ukuran kantong sebagian alumni. Beruntung ada beberapa teman yang berbaik hati menjadi sponsor dalam membiayainya.
Sebagai ketua panitia aku datang satu hari sebelumnya, mengechek persiapan yang dilakukan oleh panitia. Alhamdulillah, persiapannya tidak mengalami kendala. Pada hari H nya, aku datang lebih awal bersama ketua suku dan beberapa panitia lainnya. Sekitar jam 14.00, aku sudah berada di hotel, mempersiapan berbagai hal untuk acara nanti malam. Mengatur sejenak di ruangan, selanjutnya aku pindah di depan ruang pertemuan, sebagai penerima tamu dan lebih khusus aku sebenarnya menunggu kedatangan Dewi.
Beberapa teman sudah mulai berdatangan. Aku mengalami sedikit kesulitan dalam mengenali teman-teman, terutama yang dulunya mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Bahasa, sementara aku mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ditambah lagi adanya masker yang menutupi wajahnya.
Terlihat peserta wanita dari depan hotel, wajahnya tertutup masker, tangan kanannya memegang bungkusan cukup besar. Sepertinya, wanita tersebut mengenalku. Memang penampilanku sangat jelas, memakai jaket coklat, tidak memakai masker dan selalu memakai topi Pak Tino Sidin seperti saat berangkat dari Bogor.
“Juno…,” teriaknya. Setengah berlari, wanita itu menghampiriku. Aku pun segera mengenalnya dari suara dan juga dari postur tubuhnya. Aku berdiri secara otomatis, berjalan setengah berlari juga untuk menyambutnya. Wanita itu merentangkan kedua tangannya, akupun merentangkan kedua tanganku pula. Kami berpelukan. Wanita itu, memelukku cukup erat. Aku pun memeluknya tidak kalah eratnya.
“Dewi,” bisikku.
Darahku mengalir lebih cepat. Jantungku berdegup cukup keras, dheg…, dheg…, dheg… Hatiku pun menambah ramai suara suasananya, ser…, ser…, ser… Padahal, sudah puluhan tahun jantung dan hatiku tidak pernah memperdengarkan suaranya. Apakah suara itu juga ada padanya? Aku tidak tahu, tapi dia mendengar suara degup jantungku.
“Juno, jantungmu bergetar cukup keras.” Dia menatap mataku.
“Juno, detak jantungmu menular ke jantungku.” Katanya menambahkan.
Setelah agak reda getaran jantungku, aku pegang tangan mungilnya, aku gandeng dia menuju tempat duduk yang agak menyendiri.
“Juno, aku akan bantu Mbak Nunik dulu, aku merasa tidak enak.”
“Dewi, nanti aku akan kusampaikan kepadanya bahwa aku pengin ngobrol denganmu.” Dewi pun akhirnya menuruti permintaan.
Berdua cerita bukan saja tentang anak, tetapi juga cerita tentang masa indah bersamanya ketika di SMA.
“Dewi, kanapa kita dulu pisah ya…?”
“Juno, kenapa ya…, aku sudah melupakannya. Tapi, aku merasa bersalah kepadamu. Itu, masa terindah dalam hidupku. Aku masih ingat kala rekreasi ke Kedung Pengilon, kita kejebur bersama saat akan menangkap ikan di pinggir kedung. Aku masih ingat kala menonton film “Kejar Daku Kau Kutangkap”, kau menggandengku dengan mesra dihadapan teman-teman yang juga nonton film tersebut. Aku masih ingat kala engkau menggendongku di Curug Sewu saat aku sudah kecapaian. Aku masih ingat kala engkau mencium pertama kali di bawah pohon mangga. Ah…, Juno, kenangan-kenangan itu menari-nari kala aku mengingatmu. Semuanya, aku telah catat dalam buku harianku yang aku sembunyikan dalam hatiku.”
“Dewi, aku kira engkau telah melupakanku.”
“Juno, akhir-akhir wajahmu selalu terbayang. Aku sedang tidak baik-baik dengan suamiku.”
“Juno, suamiku perwira tinggi di kepolisian, bintang dua, sebut saja namanya Fredy Rambo. Lihat laki-laki berbaju batik yang duduk menyendiri, itu pengawalku. Kemana pun aku pergi dia selalu ada. Aku sebenarnya risih dengan pengawalan tersebut, tapi kata suamiku itu sudah menjadi protokol di kepolisian.”
Aku lihat laki-laki yang disebutkan Dewi sedang asyik dengan HP nya. Badannya tegap, rambutnya cukup panjang untuk ukuran polisi. Mungkin untuk penyamaran sebagai anggota polisi.
“Jadi kau berlanjut dengan laki-laki yang menggandengmu saat SMA?”
“Ya…, perkawinan yang membahagiakan pada awalnya. Suamiku sangat menjagaku, sebagai bentuk dari rasa cintanya kepadaku. Namun aku merasa cintanya berlebihan, aku tidak diperbolehkan berteman dengan lelaki. Sangat pencemburu. Nanti saja aku lanjutkan di ruang pertemuan. Aku khawatir pengawalku curiga.”
“Dewi, nanti kita nyanyi bersama ya…”
Aku yakin Dewi akan setuju dengan tawaranku untuk nyanyi bersama. Dulu, dia sering ikut nyanyi setiap ada kegiatan SMA. Suaranya lumayan merdu.
“Lagu apa?”
“Bagaimana kalau lagu “Setangkai Anggrek Bulan”. Iramanya gampang dan syairnya cukup bagus.”
“Aku nggak hafal syairnya.”
“Nanti ada catatan lagu tersebut, yang penting iramanya hafal, oke?”
Dewi menganggukan kepalanya.
“Juno, sekarang aku akan bantu Mbak Nunik dulu.”
Dewi berdiri terus berjalan menuju ruangan pertemuan. Aku pun ikut berdiri sambil mencium jaketku, aroma melati masih menempel dengan kuat.
“Yes…, yes…, yes…!” Kepalan tangan kananku bergerak ke atas dan ke bawah.
Kulihat jam, sudah pukul 15.00. Aku perlu istirahat sejenak untuk persiapan nanti malam. Berjalan menuju kamar 315 yang berada di lantai tiga dengan wajah tersenyum. Yes…, Yes…, Yes… Kembali aku teriak di depan pintu lift. Senengnya bukan main.
Cerpen Firasat (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Romantis, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi