Malam itu, ketika sedang makan mie rebus dan minum kopi di ruang makan asrama, Agus menghampiriku.
“Juno, aku perhatikan suara mesin tikmu tidak pernah terdengar lagi. Selama beberapa bulan, kamu murung. Apa ada masalah?”
Aku diam agak lama.
“Agus …, hubunganku dengan Dewi putus.”
“Putus? Kenapa?”
“Hubunganku putus untuk suatu alasan yang tidak masuk akal. Orangtua Dewi tidak menyetujui gara-gara aku orang Jawa dan Dewi orang Sunda.”
Agus memandangku dengan penuh iba.
“Juno, pernah dengar perang Bubat?” Perang antara kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda?”
Aku menggelengkan kepala. Memang dari dahulu, aku tidak tertarik dengan pelajaran sejarah.
“Ini, cerita singkatnya. Bermula dari utusan Majapahit yang mengantarkan surat lamaran kepada Maharaja Linggabuana, Kerajaan Sunda, untuk menyunting putri mahkota Dyah Pitaloka. Lamaran diterima dengan suka cita. Majapahit adalah kerajaan besar, menguasasi hampir seluruh wilayah Nusantara kecuali daerah Pasundan. Maharaja Linggabuana dan rombongan membawa Dyah Pitaloka ke Majapahit. Rombongan tiba di Bubat, tidak jauh dari ibu kota Kerajaan Majapahit. Gajah Mada, patih Majapahit yang terikat dengan Sumpah Palapa meminta Maharaja Linggabuana takluk kepada Majapahit dan menyerahkan putrinya sebagai upeti, untuk dijadikan selir. Sementara Maharaja Linggabuana, hanya mau menyerahkan putrinya sebagai permaisuri. Maka, terjadilah pertempuran yang tidak seimbang. Maharaja Linggabuana, beserta para pengawalnya gugur. Dyah Pitaloka bunuh diri.”
“Terus apa hubungannya denganku?”
“Ya…, sebentar, cerita belum selesai.”
“Prabu Niskalawastu Kencana, putra Maharaja Linggabuana menggantikan ayahnya sebagai raja. Dia memerintahkan rakyatnya untuk tidak menikah dengan orang Majapahit, orang Jawa. Makanya larangan pernikahan antara orang Jawa dan Sunda masih berkembang hingga sekarang.“
“Juno, orangtua Dewi, sepertinya masih percaya dengan mitos perang Bubat.”
Alhamdulillah. Akhirnya, meski terlambat hampir satu tahun, aku dapat meraih gelar insinyur pertanian. Ibu dan bapak sangat bangga, bersuka cita. Aku satu satunya orang yang berhasil menyandang gelar insinyur pertanian di desaku.
“Juno, apakah sudah punya calon.” Tanya ibuku.
“Belum Bu.”
“Bagaimana kalau Ibu jodohkan dengan putrinya Pak Camat?”
“Saya masih ingin sendiri Bu.”
Bayang-bayang Dewi masih setia mengikuti kemanapun aku pergi.
Tiga tahun berikutnya, aku tidak berani menolak keinginan ibu.
“Juno, Ibu kepengin menggendong anakmu. Bapak dan ibu sudah melamar putrinya Pak Camat, Putri namanya.”
Aku sebenarnya juga sudah tahu tentang Putri. Cepiring itu kota kecil, kala aku SMA kelas 3, dia masih kelas 1 SMP.
“Juno…, nanti kamu akan cinta dengan sendirinya. Witing tresno jalaran soko kulino. Dulu Ibu sama bapak juga langsung dinikahkan. Sampai sekarang ya… tetap langgeng.”
Hari berjalan tanpa lelah, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Dua puluh tujuh tahun telah berlalu tanpa terasa. Seiring berjalannya waktu, bayang-bayang Dewi semakin lama semakin kabur dan akhirnya hilang bagai tertiup angin.
Minggu itu, ketika sedang berjemur matahari di halaman rumah.
“Ayah…, ada tamu gadis cantik mencari ayah.” Kata Topan, anakku.
“Gadis cantik? mencariku? Siapa ya…?”
Dheg…, aku lihat gadis cantik mengingatkanku akan seseorang, gadis remaja yang usianya sekitar usia Topan. Aku lihat gadis tersebut membawa sebuah album. Bentuk dan warnanya sama persis seperti album yang aku miliki.
“Selamat pagi Om, Saya Ira, putrinya Ibu Dewi .”
Dewi? Nama ini begitu familiar bagiku, aku coba mengingatnya, apakah Dewi mantan kekasihku?
“Saya dan Ibu tinggal di Bogor. Ibu sudah lama berpisah dengan ayah. Saat ini Ibu sedang berbaring di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Sakitnya yang sudah cukup lama, kanker stadium 4. Ibu sering mengigau, menyebut nama Om Juno.”
Aku lihat mata Ira berkaca kaca, kepalanya menunduk, menyembuyikan kesedihan.
“Pesan Ibu, Om diminta untuk melihat album ini.” Ira menyerahkan album kepadaku.
Ketika aku buka albumnya, ternyata dugaanku tidak keliru. Dewi, mantan kasihku. Foto-foto di album sama persis seperti foto-foto di album yang aku miliki. Foto hitam putih yang usianya sudah puluhan tahun. Bentuk album dan warnanyapun sama. Bahkan urutan foto-foto yang dipasang di album juga sama. Kala itu, setiap foto selalu dicetak 2 lembar, satu untukku dan satu untuknya. Foto-foto di lekatkan pada album saat memadu kasih di bawah naungan pohon randu raksasa IPB.
“Om, Ira sangat terima kasih sekali kalau Om berkenan menengok Ibu saat ini. Ira takut, permintaan Ibu tidak terpenuhi, kepengin ketemu sama Om Juno” Ira terisak, air matanya mengalir.
“Topan …! Kita ke Rumah Sakit Kanker Dharmais.”
Sampai di Rumah Sakit Kanker Dharmais, aku, Ira dan Topan bergegas masuk ke kamar Mawar. Dewi tergolek lemah. Matanya terpejam.
“Ibu…, ini Om Juno, Ibu…, ini Mas Topan, putra Om Juno .”
Dewi membuka matanya, melihatku, melihat Topan dengan tatapan kosong. Aku tatap matanya, aku pegang tangannya. Matanya berbinar ketika dapat mengenaliku. Dipegangnya tanganku dengan erat, ditempelkan di dadanya.
“Mas Juno …, ma’afkan Dewi …” Suaranya pelan sekali hampir tidak terdengar. Aku mengetahui ucapannya dengan melihat mimik bibirnya. Air matanya mengalir membasahi pipi.
“Mas Juno …, ada satu permintaan, tolong Ira, anakku.” Suara semakin lemah.
“Baik Dewi, Mas Juno berjanji …, akan menjaga Ira.” Kataku di dekat telinganya.
“Terima kasih …, Mas Juno. Terima kasih.” Matanya tertutup, wajahnya tersenyum.
Aku bisikan ditelingannya kalimat tauhid, La ilaha illallah, La ilaha illallah, La ilaha illallah. Sepertinya, Dewi mendengar dan menirukannya, detak jantungnya pun berhenti.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan Dewi, selamat jalan kasih, semoga ibadahmu di terima Allah SWT dan dosa dosamu di ampuniNya. Doaku menyertaimu.“ Air mataku mengalir tanpa bisa aku cegah.
Ira memeluk ibunya, cukup lama, menangis tanpa suara, kemudian memelukku.
“Terima kasih Om Juno, terima kasih Mas Topan. Ibu tersenyum, sangat bahagia. Keinginan terakhinya terpenuhi.” Matanya merah, air matanya masih membasahi pipinya.
—
“ACUNG…, “ Teriak cucuku, sambil berlari menuju ke arahku, minta gendong.
“A…, KUNG.”
“A…, CUNG.”
Cucuku yang pertama. Sangat lucu, menggemaskan. Perempun, cantik. Usianya sudah dua tahun tapi bicaranya masih cadel. Wajahnya mirip Dewi, ibunya Ira. Oleh Topan diberi nama Dewi Yuniani. Tiga tahun yang lalu, Topan menikah dengan Ira. Keduanya saling mencinta.
“Ayah, ini foto Topan dan Ira di Kebun Raya.”
Aku lihat beberapa foto Topan dan Ira. Duduk berdua di atas banir pohon shorea, menyeberang di jembatan gantung Kebun Raya Bogor dan foto-foto lainnya persis seperti fotoku bersama Dewi. Alangkah bahagianya mereka.
“Ayah, besok kita berfoto seperti yang ada di album.” Kata istriku.
“Ya…, ya…, ya…, meski sudah tidak muda lagi tapi ya… tidak mengapa.”
Ternyata larangan perkawinan orang Jawa dengan orang Sunda hanya mitos yang masih dipercayai sebagian masyarakat Jawa Barat.
Cerpen Sepasang Album Kembar (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Kehidupan, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi