Ada kalanya diriku merasa seperti tidak dicintai.
Satu setengah tahun bukan waktu yang sebentar, dan aku masih belum bisa memahami tentang bagaimana Aksara ingin menjalani hubungan ini; akan dibawa ke mana? Akan berakhir seperti apa? Kalau pertanyaannya dirasa terlalu jauh, akan kusederhanakan seperti ini: apa ia pernah terpikir sekilas saja untuk mencintaiku?
Pertanyaan yang bodoh, ‘kan? Kalau pacaran ya jelas-jelas saling mencintai. Tapi dengan Aksara, semuanya terasa mustahil. Aku sendiri bingung kenapa bisa bertahan sampai sejauh ini sementara hal-hal yang kuinginkan tak pernah kudapat darinya.
Aksara membuatku kelimpungan mencari dimana letak kesalahanku yang membuatnya enggan untuk memberikan kepingan hati, ia juga membuatku makin tak menyukai diriku sendiri karena selalu kekuranganku yang tampak di matanya. Tapi semakin aku ingin jauh, semakin aku sakit dibuatnya.
Rasa cinta macam apa yang menyiksa seperti ini?
“Putusin, Dis, lo udah cukup kuat buat bertahan sampe sini.”
“Nggak segampang itu, Kat,” aku menjawab, “gue pernah sekali minta putus, tapi Aksa nggak kasih.”
Katia, dalam ekspresinya yang paling bingung, memainkan sedotan di gelas minumannya yang sisa setengah. “Lo berasa lagi main puzzle nggak sih sama dia? Lo nyusun kepingannya sendirian, lo nyari kepingan yang ilangnya juga sendirian.”
“Lebih ke lagi main petak umpet di labirin sih; mainnya udah selesai, guenya masih kejebak.”
“Oh, girl, lagi juga kenapa lo baru cerita sekarang, Dis? Satu setengah tahun kalian pacaran dan gue pikir kalian baik-baik aja? Karena lo nggak pernah keliatan se-struggle itu ngadepin dia, jadi gue berusaha terima walau Aksa nggak keliatan sebaik itu.”
“Sorry, Kat,” sejak dari awal memang aku yang salah, “sorry.”
“Don’t say sorry to me, say it to yourself.”
Perempuan penyuka warna pastel di hadapanku ini adalah teman yang sudah bertahun-tahun ada di sampingku. Aku merasa jahat pada Katia karena merahasiakan semua ini darinya. Aku tahu Katia akan merasa sedih kalau kuceritakan semuanya, jadi sebisa mungkin aku tak akan membuatnya khawatir. Pun aku juga berpikir aku masih bisa handle semuanya sendirian. Bayanganku memutar film dengan adegan manis dimana aku dan Aksara berhenti memainkan sandiwara hari kemarin dan menjalani hubungan dengan sungguh-sungguh; dengan sepenuh hati.
Pada akhirnya, selama apa pun aku menunggu, sekuat apa pun usahaku mendapat perhatiannya—adegan itu tak pernah terputar. Semuanya masih sama. Aksara yang tak kumengerti inginnya, dan aku yang masih tetap mencintainya.
—
Aksara Pradipta dalam penglihatanku adalah laki-laki yang usianya lebih muda, dengan pembawaan yang juga masih jauh untuk dibilang dewasa. Aksara duduk di bangku SMA tingkat akhir saat menyatakan perasaannya padaku. Tentang bagaimana pertemuan awal kami, kau bisa menyebut itu hanyalah kebetulan. Aku hanya sedang berkunjung ke perpustakaan kota dan membaca dengan khidmat di halaman depan seperti biasa, dan hari itu Aksara—dengan seragamnya yang kusut dan mencuat dari celana—menabrakku tak sengaja. Entah dia tak melihatku duduk di atas rumput atau bagaimana, yang jelas buku-buku di pelukannya jatuh berceceran dan salah satunya terlempar ke kolam ikan. Tenggelam sepenuhnya.
Aksara saat itu panik bukan main, tanpa sadar kami mencuri banyak perhatian orang-orang di sekitar. Pada akhirnya, aku yang minta maaf dan membantunya untuk bicara pada penjaga perpustakaan. Dan aku juga yang membayar dendanya karena laki-laki itu tak menyimpan sepeser pun uang di sakunya.
Pada saat itu, niatku benar-benar hanya menolongnya yang sedang kesusahan. Namun Aksara bersikeras meminta nomor teleponku untuk membicarakan kembali uang yang kubayarkan untuk denda. Aku kurang suka dihubungi oleh orang yang bukan kenalan, maka kuberikan saja username akun Instagram alih-alih nomor telepon. Malamnya Aksara benar-benar menghubungiku, aku balas sekenanya apa pun yang ia bahas. Di ujung malam, ia meminta nomor rekeningku dan biaya dendanya diganti dua kali lipat.
Jadi penampilan urakannya bukan karena dia orang miskin.
Singkat cerita, aku dan Aksara makin dekat karena banyak alasan. Ia suka kucing, ia suka langit sore, ia suka memotret awan yang tebal, ia juga suka hujan. Aku sudah memberikan nomor pribadiku padanya, dan kami berbagi banyak cerita lewat pesan-pesan di malam hari. Sampai di bulan ke-tiga, Aksara mengajakku ke kafe yang baru launching, meski saat tiba di sana ia bilang menyesal karena tempatnya lebih ramai dari dugaan.
“Kalo aku bilang cinta sama Kak Adisti sekarang, kecepetan nggak ya?”
Tak kusangka aku bisa tersipu dengan ucapan anak SMA. “Itu kan kamu udah bilang.”
Aksara terlihat tampan tak seperti saat awal pertemuan, wanginya jelas bukan dari parfum murah. Ia tak pernah bercerita bagaimana keluarganya, tapi aku cukup menghargai kalau memang ia ingin menjadikan itu privasinya saja. Toh aku akan tahu suatu hari nanti.
“Iya juga ya,” Aksa terkekeh, “berarti.., mau dong?”
“Mau apa sih?” aku menggodanya, sebagai yang lebih tua aku harus tangguh kan menghadapi gombalan seperti ini? Bukan sekali dua kali aku ditembak.
“Pacaran sama aku, mau ya, Kak?”
Tapi jujur, baru kali ada yang mengajakku pacaran dan wajahnya setampan Aksara Pradipta. Kalau kutolak, mubazir namanya.
Awalnya, Aksara menjalani hubungan sebagaimana orang pacaran lainnya. Entah sejak bulan ke berapa, perilakunya mulai berubah; tatapannya juga berubah. Aku mengira itu hanya efek setelah ujian akhir yang dihadapinya, tapi setelah tiga bulan pun, semuanya masih sama. Aksara semakin sering beralasan saat kutanya kenapa, kenapa ia tak menjawab telepon, membalas pesan, dan kenapa ia tak pernah mau lagi diajak bertemu. Aku tak sadar bahwa aku sedang dicampakkan, karena aku terlalu takut untuk melawan argumennya saat itu. Dan karena Aksara juga tak pernah mengajukan kata putus. Aku terlalu naif mengira Aksara hanya sedang lelah.
Dan hari ini, setelah pertemuanku dengan Katia, aku memutuskan untuk membuat semuanya menjadi jelas setelah berbulan-bulan kubiarkan hubungan ini mengalir tanpa emosi.
Aksara menjawab teleponku setelah panggilan ke tiga, kuserobot duluan sebelum ia bersuara. “Ayo ketemuan.”
Ada hela napas di seberang sana, “Nggak bisa, Kak.”
“Aksa, please, sebentar aja,” kuabaikan ramainya keadaan di sambungan telepon, entah Aksara sedang berada dimana dengan bising seramai itu. “Ada yang perlu kita bicarain. Aku yang samperin kamu ya?”
“Nggak bisa dibicarain di sini?”
“Please,” bagaimana ya ekspresinya saat mendengarku sampai memohon seperti ini? “Please, Aksa, sekali ini aja.”
Terdengar tarikan napas panjang, lalu lagi-lagi hela napas letih. “Mau ketemu dimana?”
Kafe yang tak jauh dari tempatku bekerja menjadi pilihan dan Aksara menyetujuinya tanpa bantahan. Ia membutuhkan waktu empat puluh menit untuk sampai karena lokasinya lumayan jauh saat itu. Aku merasa bersalah, sedikit. Apalagi di luar sedang hujan.
Aksara datang dengan rambut lepek, wangi parfumnya masih tersisa dan setelannya rapi dengan kemeja putih dan celana bahan. Meski agak basah, ia masih terlihat menawan.
“Kamu habis interview?”
Aksara memijat pelipis, “Ya, tapi nggak sempat cause things happen badly, aku harus ke Rumah Sakit.” Telapak tangannya mengkover seluruh wajah, mengusap kasar, “Mama kambuh.”
Aku terkejut tak dibuat-buat, ini informasi yang sangat baru untukku, aku tak pernah diberitahu apa pun tentang orang tuanya. Aku meringis semakin merasa bersalah membuatnya kabur saat jelas-jelas keluarganya sedang ada musibah.
“It’s okay, Kak, udah ada yang jaga Mama,” suara Aksara yang ini, lembut seperti dulu. “Apa yang mau dibicarain?”
Aku dan Aksa duduk berhadapan dengan secangkir kopi yang mengepulkan asap tipis. Gagang cangkir kukaitkan pada jari telunjuk; Aksa pun demikian. Ia menunggu dengan sabar tiap kata yang sedang kurangkai dalam pikiran. Jendela besar di sisi kiri menunjukkan jalan yang terguyur rinai gerimis, dahan dan daun digoyang angin, sekilas aku melihat seorang ibu yang memayungi anak laki-lakinya sementara pundaknya sendiri basah kuyup. Ah, aku selalu sedih kalau mengingat ibu.
Ibuku masih ada, hanya kasih sayangnya yang hilang. Kalian bisa bilang aku memang tak beruntung dalam hal apa pun; cinta begitu pula keluarga.
“Kita.., sekarang ini apa ya?”
Aksara menatapku seolah aku yang bersalah, entah tatapan macam apa itu—ada sedih, ada marah, ada sakit yang terpancar di matanya. “Menurut Kak Adisti sendiri apa?”
Jujur menjadi pilihan setelah lelah bertahan. Aku sudah tidak mau menghindar dari sesuatu yang memang seharusnya kulakukan. Satu setengah tahun sudah cukup memberi pengalaman, memang Aksara bukan orang yang tepat untukku. Begitu pun aku, bukan juga orang yang tepat untuk menemani Aksara.
“Kayaknya udah cukup ya buat kita main-main.”
“Aku masih suka Aksara, aku masih cinta Aksara Pradipta yang aku kenal. Tapi, Aksa, ada hal yang memang seharusnya nggak melulu dipertahankan. Ada kalanya kita juga harus melepas, kan? Mungkin kita memang bukan untuk satu sama lain, mungkin Aksara bakal punya pasangan lain yang lebih bisa bikin kamu bahagia dan rela buat kamu kasih sebagian cinta. Kalau sama aku terus, kamu nggak akan nemu siapa orangnya.”
“Dan, Aksa, menurutku cintanya Aksara itu kayak hujan; awalnya deras, rintik, dan akhirnya reda.”
Belum semua yang mengganjal kuutarakan padanya. Aku masih ingin berada di sampingnya setelah seluruh sakit dan sepi yang kurasakan. Namun, poin pentingnya, aku tak akan bisa berjalan jika harus menetap di sini. Aku harus memaksa untuk merangkak dan keluar. Untuk lepas dari cengkeraman Aksara yang tangannya saja tidak menggenggamku.
“Jadi, Aksara, kita selesaikan aja semua ini ya?” ini sudah suaraku yang paling tabah, meski aku sedikit sakit hati karena Aksara hanya menatapku dalam diam. Ya memang apa yang diharapkan, sih? Apa secara tak sadar aku masih menginginkan Aksara menyangkal dan menahan? Aku sudah jatuh sedalam itu padanya, ternyata. “Aku sudah cukup mencintai kamu, sudah puas kasih kamu hujan yang deras walau kamu sendiri malah menghindar. Memang nggak semua orang suka hujan, sih, termasuk Aksara ya?”
Aku memilih kalah.
Aku tak pernah mendapat hal-hal yang kuinginkan dari Aksara karena memang aku bukan prioritasnya. Aku sibuk mencari kesalahanku padahal bukan aku yang salah, semuanya memang karena Aksara tidak ada rasa.
“Apa dengan putus Kak Adisti bisa bahagia?”
Pertanyaan yang retoris. Aksara harusnya tahu aku sakit saat dengannya, dan sakitnya bertambah saat tak dengannya. Sebegitu serba salahnya aku mencintai dia.
“Semoga.”
Ada kalanya diriku merasa seperti tidak dicintai. Pada kenyataannya aku memang tak pernah dicintai.
Cerpen Mencintaimu Seperti Filosofi Hujan merupakan cerita pendek karangan Dalamlakara, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Dalamlakara.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi
💯 mirip kisahku juga 🤭
Bagus @Mahendra cerpennya. Next, aku mau share klw dah ada waktu
Ceritanya bikin terharu. Sayang banget yah di sia-siain
Ya, begituulah hidup ka heee
Aqu pernah juga ngalamin hal seprti ini. Tpi pada akhirnya aqu sangat menyesal :(
Jadikan pengalaman aja kak