Cinta
Diterbitkan di Cinta
avatar
waktu baca 21 menit

Mata Kelinci (5)

Mata Kelinci (5)

Perjalanan ke Lembang semakin padat dengan kendaraan lain yang menuju ke arah yang sama. Sampai Lembang pun sudah agak siang.

“Kelinci, kita terus ke Cikole ya…”

“Dewi, ikut Mas Juno saja.”

Sampai di Wisata Hutan Pinus Petak 13 sudah mendekati siang.

“Hai Mas Juno.” Sapa penjual tiket.

“Apakah saya harus bayar tiket?”

“Tidak usah, masuk saja.” Katanya lebih lanjut.

“Hallo Mas Juno, pacarnya cantik amat.” Kata manajer lapangan.

Sepertinya, Dewi heran para pegawai Wisata Hutan Pinus Petak 13 sudah kenal denganku, mereka menyapaku dengan ramah.

“Kelinci, dulu Mas Juno melaksanakan penelitian di sini. Mas Juno ikut mendesain bagaimana sebaiknya hutan pinus tidak ditebang tetapi tetap memberikan manfaat bukan saja kepada pemerintah tetapi juga masyarakat lokal, satu-satu cara adalah menjadikan sebagai tempat wisata. Lokasinya sangat bagus, ditepi jalan utama, pohon-pohonnya juga sudah besar-besar, sangat cocok untuk wisata remaja, wisata petualangan. Itulah sebabnya mereka kenal sama Mas Juno.”

“Mas Juno, mari saya antar ke tempat yang bagus.” Kata salah satu karyawan.

Aku dan Dewi diantar oleh petugas ke salah satu gazebo yang tempatnya menyendiri dan dapat melihat pemandangan hutan pinus di bawahnya.

“Mas Juno mau pesan apa?”

“Kelinci saja yang pesan ya…”

“Ada nasi timbel, itu apa ya.., Dewi baru dengar.”

“Ya… di pesan saja, nanti kan tahu apa itu nasi timbel.”

Dewi pun pesan nasi timbel ditambah beberapa lauk: gurame goreng, udang goreng, ayam goreng, dengan minuman bajigur dan air mineral.

Sehabis makan, kami pindah duduk di bawah pohon pinus yang cukup besar sambil mendengarkan gemericik air dari kalen. Airnya jernih, mengalir dengan cukp deras.

“Mas Juno, sayang Dewi nggak?”

“Kelinci, engkau itu aneh. Tentu saja Mas Juno sayang sama Kelinci.”

“Bener ya.., bener sayang sama Dewi. Kalau Dewi minta satu permintaan apakah Mas Juno akan mengabulkan?”

“Permintaan apa dulu dong?”

“Ya…, pokoknya permintaan yang menunjukkan bahwa Mas Juno sayang sama Dewi.”

“Kalau itu ya… nggak masalah.”

“Janji… ya… jari kelingking Mas Juno dikaitkan dengan jari kelingking Dewi. Mas Juno maukah jadi kakak Dewi.”

Aku kaget setengah mati mendengar permintaan yang tidak terduga sama sekali. Padahal aku sudah akan menyatakan perasaanku kepadanya. Entah apa maksudnya, apakah karena Dewi anak tunggal atau sebab lainnya, aku tidak bisa menduganya.

“Ayo jawab Mas Juno.”

“Ya…, ya…, Mas Juno akan jadi kakak Kelinci.”

“Terima kasih, Mas Juno baik sekali.”

Dewi mencium pipiku. Aku masih merasa shock, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya yang aku tidak tahu. Atau, barangkali kakak itu juga berarti pacar? Rasanya tidak mungkin. Apakah cinta harus selalu dikatakan? Kalau itu, aku memang terlambat mengutarakan perasaanku. “Kelinci, aku cinta kamu.” Setidaknya kalau aku yang mengutarakan terlebih dahulu mungkin tanggapan Dewi akan lain. Aku memang bukan tipe lelaki yang romantis. Kata-kata rayuan tidak biasa aku lakukan.

Sungguh aku gagal paham, aku seyakin-yakinnya bahwa Dewi itu mencintaiku seperti halnya aku mencintainya. Dewi, engkau tahu aku cinta dengan segenap rasa di hati. Engkau sebenarnya tahu kalau aku sangat mencintaimu, tapi kau memilih seolah engkau tak tahu. Kau sembunyikan rasa cintaku dan kau jadikan aku sebagai kekasih bayangan. Ya…, itu potongan dari lagu “Kekasih Bayangan” yang dinyanyikan Cakra Khan yang sangat cocok dengan suasana hatiku. Sepertinya, cintaku bertepuk sebelah tangan. Dewi hanya menganggapku sebagai kakak. Tidak lebih. Apakah ini karma seperti apa yang aku lakukan terhadap Denok?

Pulangnya hatiku kosong. Ada luka sangat dalam dihatiku. Kalau aku bergembira itu adalah kegembiraan semu sekedar untuk menyenangkannya.

Waktu berjalan tiada mengenal lelah, bagai roda berputar kadang di atas, kadang dibawah. Kini aku sedang berada di bawah. Suasana kegembiraan telah berganti menjadi suana kegundahan. Kapan mendung akan berakhir aku tidak tahu.

Hubunganku dengan Dewi sudah tidak lagi seperti biasanya, terasa hampa. Aku lebih bersikap pasif, tidak berani menggandeng tangannya yang mungil apalagi merangkulnya.

Kala itu aku dan Dewi sedang makan siang berdua di rumah makan Gubug Makan Mang Engking yang berlokasi di kawasan kampus Universitas Indonesia Depok. Rumah makan ini dikenal dengan gubug-gubug di atas danau, tempat yang menyenangkan untuk keluar dari rutinitas harian.

“Mas Juno sekarang kan kakak Dewi, Dewi mau terus terang sama Mas Juno. Dewi juga berharap Mas Juno dapat membantu Dewi.”

Aku diam saja, menunggu apa kelanjutan yang ingin disampaikan olehnya.

“Mas Juno, ma’afin Dewi ya…, sebenarnya Dewi sudah lama menjalin kasih dengan kakak kelas saat kuliah di UNDIP, namanya MAS BIMA. Saat ini Mas Bima sedang menyelasaikan studi S3 di Amrik.”

Halilitar siang menyambarku tanpa kenal kasih. Dunia bagai runtuh. Aku sangat lemas, tulangku terasa copot semua. Kursi yang aku duduki terasa bergoyang bagai ada gempa skala tujuh. Juga, kepalaku mendadak pusing yang amat sangat.

“Mas Juno…, Mas Juno.., kenapa?”

Dengan kesadaran yang masih aku miliki, aku segera minum air dingin yang ada di depanku. Agak lama kesadaranku pulih 100%.

“Terus Kelinci minta bantuan apa?” Kataku tanpa semangat.

“Mas Juno, saat ini Ibu sakit keras. Permintaan Ibu, Dewi harus datang bersama calon suami. Mas Bima sedang studi di Amrik, lima bulan lagi Mas Bima baru selesai studinya.”

Aku diam menunggu kelanjutan permintaannya.

“Jadi nanti kita datang bersama, Mas Juno bertindak sebagai pacar Dewi.”

“Kalau hanya itu ya.. nggak masalah, kapan kita ke Kendal.”

“Bukan hanya itu Mas. Ibu inginnya kita langsung menikah. Ibu sudah kepengin menggendong cucu.”

“Aku tidak paham Kelinci.”

“Kita kawin bohong-bohongan Mas.”

Memang untuk ukuran gadis di kota kecil Kendal, Dewi sudah termasuk terlambat menikah, usianya sudah menginjak lebih dari 25 tahun.

“Bagaimana Mas? Mau kan Mas? Tolonglah.” Katanya dengan wajah memelas.

“Ya…, ya…” Kataku dengan terpaksa.

“Terima kasih Mas Juno, terima kasih.” Wajah berbinar dilanjutkan dengan ngesun pipiku.

Baru saja aku terpaksa memenuhi permintaan yang tidak masuk akal. Tidak terpikir di otakku yang masih normal ada permintaan segila ini. Sebenarnya aku tidak mau. Tapi ya…, bagaimana…., aku sudah berjanji menjadi kakak yang akan memenuhi segala permintaan adiknya. Ini juga janji gila. Permintaan gila ketemu janji gila. Klop sudah.

“Kelinci, engkau tangkap hatiku, engkau penjarakan hatiku, kini, engkau minta aku menjadi pengantin bayangan.” Hatiku berguman.

Untuk kawin semu ternyata Dewi sudah mempersiapkan secara matang. Ada perjanjian di atas meterai. Aku tidak boleh menggaulinya, dua bulan sebelum kedatangan Bima, aku harus menceraikannya. Hilang kesempatanku untuk menjadikan Dewi sebagai istriku. Hatiku hancur bagai kena pukulan palu godam.

Dewi memang pandai menyembunyikan sesuatu dariku. Dia tahu aku sangat mencintainya. Begitu pandainya dia bersikap padaku seolah-olah dia mencintaiku. Aku tidak tahu kalau Dewi sudah pacaran dengan Bima kakak kelas di Fakultas Ekonomi. Dari cerita Dewi, aku tahu kalau pacarannya sudah cukup lama, dari tingkat satu sampai lulus memperoleh gelar sarjana.

“Lakukanlah Kelinci, lakukanlah sesuai dengan keinginanmu. Selagi masih ada waktu. Selagi masih ada aku. Jangan hiraukan diriku. Aku rela melakukannya demi untuk dirimu. S’moga tercapai s’gala keinginanmu.” Aku sengaja mengambil sebagian cukilan dari syair lagu Chriye. Syair lagu yang sangat pas dengan keadaanku saat ini.

Ijab qobul dilakukan secara sederhana di Kantor Urusan Agama setempat.

“Sejak ijab qobul ini, maka Mbak Dewi secara resmi sudah menjadi istrinya Mas Juno. Mas Juno mempunyai kewajiban menggauli Mbak Dewi secara baik-baik, dan Mbak Dewi mempunyai kewajiban untuk melayani Mas Juno secara baik baik pula. Mas Juno dan Mbak Dewi jelas ya…, kewajibannya masing-masing.” Kata Bapak Penghulu.

Kliiing…, terdengar suara dari HP ku.

“Mas Juno, selamat ya…, penikahannya dengan mbak Dewi. Semoga berbahagia.” Pesan singkat via SMS dari Denok disertai tiga gambar moji wajah sedih, orang yang menitikkan air mata.

Malamnya…

Kamar pengantin telah dihiasi dengan nuansa bunga melati, tempat tidur dipenuhi lautan bunga melati, kamar mandi pun penuh dengan bunga melati. Namun, malam pengantin, tidak seperti malam pengantin. Satu kamar, beda tempat tidur. Dewi yang mestinya berpakaian khusus pada malam pertama yang akan memperlihatkan kesempurnaan tubuh wanita, ternyata memakai celana jean dengan kaos yang dibalut jaket kulit.

“Mas Juno, ma’af ya…, kita tidak tidur dalam satu ranjang. Tempat tidur Mas Juno di dipan sebelah. Ingat perjanjian kita. Wejangan dari Pak Penghulu kita abaikan.”

Malam itu, sungguh malam menyakitkan terpanjang yang pernah aku rasakan. Mata pun tidak mau mengikuti perintahku untuk segera terpejam. Di tempat tidur, aku hanya bolak-balik, ke kiri ke kanan ke kiri lagi. Entah berapa kali bolak baliknya, mungkin lebih dari lima belas kali. Aku hanya berharap mentari segera menampakkan diri untuk mengakhiri penderitaan batinku. Tujuh malam aku mengalami malam yang menyakitkan. Aku tidak tahu apakah ada malam gila seperti ini yang dialami oleh pengantin baru.

Kembali ke Jakarta dengan kesibukan pekerjaan dapat melupakan sedikit penderitaan batinku.

“Mas Juno, dua bulan lagi Mas Bima akan pulang, kita ke Kantor Urusan Agama untuk mengurus surat cerai.” Katanya dengan gembira.

Dua bulan mendatang Dewi akan menjadi miliknya orang lain. Aku tidak dapat lagi menatap lagi mata indahnya, tidak dapat lagi menggandeng tangan mungilnya, tidak dapat menikmati makan bersama.

“Terima kasih Mas Juno, terima kasih banyak atas pengorbanannya. Mas Juno betul-betul kakak yang sangat baik sekali.”

“Semoga engkau bahagia Kelinci.”

(BERSAMBUNG)

Cerpen dengan judul "Mata Kelinci (5)", telah berhasil dimoderasi dan lolos ditayangkan oleh tim editor.

Cerpen Mata Kelinci (5) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.


Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar: 1 tahun yang lalu. Bagaimana menurutmu gengs? apakah agan menyukai tulisan cerpen dari Bambang Winarto? jika agan menyukai cerpen ini, silahkan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs.


Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.

Promosi Via Guest Post!

Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈

Hai gansis! 🧑‍🦱🧑‍🦰 Yuk coba seru-seruan bareng komunitas dengan menggunakan asisten AI cerdas. Caranya sangat mudah, cukup dengan memberikan tagar dan mention [#tagargpt & @balasgpt] pada balasan agan dan sista di sini.

25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.


Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi

Dilarang mengirimkan pesan promosi, link, spam dsbg. Namun jika agan ingin menyisipkan link (promosi), silahkan pergi ke halaman hubungi moderator kami. Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik yang ada. Untuk informasi selengkapnya, silahkan baca aturan di sini.

Komentar