Cinta
Diterbitkan di Cinta
avatar
waktu baca 21 menit

Mata Kelinci (3)

Mata Kelinci (3)

Mata Denok menjadi merah digenangi air mata. Pulangnya, sepanjang perjalanan, Denok tidak bicara sama sekali. Mboceng sepeda yang biasanya memegang tubuhku dan malahan menyederkan kepala di punggungku tidak dilakukannya. Sampai rumah, Denok langsung turun dari sepeda dan terus berlari masuk dalam rumah. Esoknya, ketika berangkat sekolah, Ibu Mantri memberitahuku.

“Juno, Denok hari ini tidak sekolah, badannya panas.”

Esoknya lagi, ketika aku jemput, kembali Ibu Mantri bilang kalau Denok masih sakit. Hari keempat, atas izin dari Ibu Mantri, aku memberanikan diri melihat Denok di kamarnya. Denok masih tergolek lemah di tempat tidur. Ketika aku datang, matanya memandangku dengan genangan air mata.

“Denok, kamu sakit apa?” Aku pegang keningnya. Memang agak hangat.

Untuk beberapa saat Denok diam. Aku duduk di depannya sambil pegang tangannya.

“Denok, ayo ngomong dong.”

“Mas Juno sayang nggak sama Denok?” Aku gembira Denok sudah mau bicara.

“Ya…, tentu saja Mas Juno sayang sama Denok.”

“Dulu Mas Juno sudah berjanji tidak ngajarin Dewi, tapi nyatanya Mas Juno masih melakukannya bahkan Mas Juno pacaran sama Dewi secara sembunyi-sembunyi.”

Seperti pelajaran sebelumnya aku lebih baik diam seribu bahasa. Aku coba alihkan pembicaraan.

“Denok, besok sudah bisa sekolah belum.”

“Denok mau sekolah kalau Mas Juno janji dengan sungguh-sungguh, nggak ngajarin Dewi.”

“Baik Denok, ini janji Mas Juno.’

“Nggak mau begitu. Kelingking Denok dikaitkan dengan kelingking Mas Juno. Mas Juno swear beneran ya… Ikuti kata-kata Denok.”

“Aku, Juno tidak akan ngajarin Dewi lagi. Kalau masih dilakukan Denok tidak mau sekolah lagi.”

Aku ikuti apa kata-kata Denok, yang penting Denok mau sekolah.

“Jadi besok Denok mau sekolah?”

Ibu Mantri yang melihat putri semata wayangnya geleng-geleng kepala. Sakitnya Denok rupanya lebih kepada sakit psikologis, cemburu yang berlebihan.

“Juno, Bapak telah membelikan sepeda motor bebek untuk sekolah Denok. Nanti Juno yang mengendarai, Denok mbonceng seperti biasa. Tapi harus hati-hati dan tidak boleh ngebut.”

“Baik Bu.”

Tentu saja aku senang, tidak terlalu capek dan yang lebih penting waktunya dapat lebih cepat. Dengan sepeda perlu waktu sekitar satu jam lebih, sementara dengan sepeda motor hanya perlu waktu tidak lebih dari 20 menit.

Waktu berjalan tiada henti, bagai roda berputar. Pertemuan dengan Dewi tetap aku lakukan dengan lebih hati-hati. Aku tidak mau kejadian di perpustakaan terulang kembali.

Saat pengumuman kelulusan tiba, siswa kelas tiga berebut melihat lembaran kertas pengumuman kelulusan yang ditempelkan di papan pengumuman. Beberapa teman wajahnya tertunduk yang menandakan tidak lulus tetapi sebagian besar bersorak kegirangan.

“Aku lulus, yes…, yes…, yes…”

“Hore…, aku lulus.”

“Asyiiik…, aku lulus.”

Beragam kegirangan yang dtampilkan saat membaca papan pengumuman. Coret-coret baju dengan spidol yang telah disiapkan rupanya sudah menjadi tradisi. Aku sebenarnya kurang setuju, bukankah bajunya masih bisa digunakan, bisa diberikan kepada anak-anak kurang mampu. Tapi ya…, itu mungkin pikiranku saja yang masih harus berjuang dengan segala cara untuk dapat sekolah.

“Mas Juno kenapa tidak lihat pengumuman kelulusan?”

“Nanti saja, kalau sudah agak sepi.”

Aku dan Denok melihat papan pengumuman ketika tinggal beberapa siswa yang melihatnya. Aku yakin lulus, karena saat ujian aku dapat mengerjakan soal dengan baik.

“Itu, nama Mas Juno berada di paling atas. Mas Juno lulus, selamat ya…”

“Terima kasih Denok.” Jawabku tanpa ekspresi.

“Sepertinya, Mas Juno tidak gembira.”

“Denok, kalau gembira ya tentu saja. Siapa siih yang nggak kepengin lulus? Tapi…, setelah lulus mau kemana? Melanjutkan sekolah? Darimana uangnya? Bukankan kuliah di perguruan tinggi memerlukan biaya yang tidak sedikit?”

Sepertinya Denok tahu perasanku.

“Kita ke kantin dulu ya…, Denok mau traktir.”

Aku hanya mengangguk.

Tidak disangka Dewi dan Ayu datang bersama memberi selamat.

“Mas Juno, selamat ya…, lulus dengan predikat terbaik.”

“Terima kasih Kelinci.”

“Kalau sudah lulus jangan lupa sama Dewi ya…?”

Kembali, Denok melihat Dewi dengan tatapan tajam bagai elang yang akan menerkam kelinci.

“Mas Juno, kita kantin.” Dengan sigap Denok menggandeng tanganku menuju kantin.

“Mas Juno kan sudah janji tidak akan ketemu sama Dewi.”

“Kan janji Mas Juno tidak ngajarin Dewi. Tadi Dewi dan Ayu hanya mengucapkan selamat saja. Masa nggak boleh?”

Suasana hening. Aku hanya diam. Sepertinya, Denok menyadari bahwa Dewi datang hanya memberikan selamat bukan salahku. Tidak berapa lama Denok pun berbicara.

“Mas Juno, nanti Denok mau bilang sama Ibu untuk membiayai kuliahnya Mas Juno di perguruan tinggi.”

“Jangan Denok, Mas Juno malu dengan keluarga Denok yang terlalu baik sama Mas Juno. Dapat sekolah sampai SMA saja, Mas Juno sudah bersyukur. Siapa tahu nanti Tuhan mengabulkan permintaan Mas Juno.”

“Kita makan dulu ya…, Mas Juno mau makan apa.”

“Mas Juno masih kenyang, tolong pesankan es teh manis saja.”

Jujur, kelulusan tidak membawa kegembiraan sepenuhnya bagiku, malahan membawa kegalauan. Kelulusan berarti berpisah dengan teman-teman, meninggalkan SMA, berpisah dengan Dewi, Terus mau kemana? Apakah aku akan menjadi buruh tani seperti ayahku? Apakah takdir ayahku akan diwariskan kepadaku?

“Mas Juno minum dulu es teh manisnya. Ini ada pisang goreng, ambil satu ya…?”

Kali ini, Denok berlaku bagai seorang kakak, menghibur diriku kala hatiku sedang gundah. Sebelum pulang, aku sempatkan kembali melihat papan pengumuman yang menempelkan informasi penerimaan mahasiswa baru dari berbagai perguruan tinggi. Mataku menelusuri setiap brosur yang tertempel di papan pengumuman. Ada satu brosur yang cukup menarik perhatianku. PT SYLVA INDOLESTARI, suatu perusahaan pemegang konsesi hutan akan memberikan beasiswa dan biaya hidup bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan. Setelah lulus, harus bekerja di PT Sylva Indolestari.

“Denok, Mas Juno akan melanjutkan ke Fakultas Kehutanan IPB Bogor saja, dapat bea siswa dan biaya hidup. Kalau lulus langsung bekerja di perusahaan kehutanan PT Sylva Indolestari.”

Dengan penuh semangat berkas pendaftaran ke IPB dan berbagai permintaan dari perusahaan hutan aku penuhi. Alhamdulillah, setelah menunggu tiga minggu aku di terima di IPB.

“Denok, lihat Mas Juno diterima di IPB, nanti Mas Juno kuliah di Bogor.

Kali ini Denok diam untuk waktu yang agak lama. Matanya merah menerawang memandang dengan tatapan kosong.

“Jadi kita berpisah?”

“Ya…, tidak. Mas Juno kuliah di Bogor. Denok sekolah di SMA Kendal. Kita masih tetap berhubungan melalui HP.

Sebelum berangkat ke Bogor, selain pamit kepada orangtua juga kepada orangtua Denok.

“Juno, sering-sering memberi kabar.” Kata Ibu Mantri

“Juno, kalau kesulitan keuangan bilang sama Bapak.” Kata Pak Mantri.

“Mas Juno, di Bogor belajar saja ya… Denok dengar kalau gadis Sunda cantik-cantik. Sering SMS ke Denok ya…”

Aku juga pamit pada Dewi via SMS.

“Kelinci, Mas Juno diterima di IPB nanti kalau lulus langsung bekerja di PT Sylva Indolestari. Mas Juno tidak akan lupa mata indah Kelinci. Semoga Tuhan mempertemukan kita pada kesempatan yang akan datang.”

Kampus Pusat IPB berada tepat di jantung kota Bogor dikenal dengan sebutan Kampus Baranangsiang. Pada tahun-tahun awal kuliah terutama pada tiga semester pertama aku mengalami kesulitan dan bahkan hampir frustasi mengikuti kuliah, praktikum, quiz, ujian dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Padahal mata kuliah yang diberikan sebenarnya hanya mengulang mata pelajaran ketika di SMA, seperti: kimia, matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan beberapa mata kuliah pengantar pertanian. Kepandaianku semasa di SMA yang dengan gampang melahab semua pelajaran ternyata tidak berlaku di IPB. Untuk memperoleh nilai kelulusan minimal saja aku harus jungkir balik. Belajar, belajar dan belajar. Tidak naik tingkat berarti bea siswa dicabut, masa depan hilang.

Hubunganku dengan Denok dan Dewi masih tetap berlanjut, meski hanya melalui SMS. Ketika kenaikan kelas, Denok dan Dewi berbeda pilihannya.

“Mas Juno, Denok pilih jurusan Bahasa.”

“Mas Juno, Dewi pilih jurusan IPS.”

Selama kuliah di IPB, aku jarang pulang ke Pegandon. Pada kenaikan tingkat tahun pertama, aku lebih memilih tetap tinggal di Bogor. Sekali-kali aku ke Kantor PT. Sylva Indolestari untuk memperkenalkan diri sekaligus mempelajari sepintas pekerjaan yang nantinya akan aku lakukan. Kantornya berada di salah gedung perkantoran di jalan Rasuna Sahid, ruangannya tidak terlalu besar tetapi sangat nyaman, suasananya pun kelihatannya juga menyenangkan.

Mulai semester empat aku masuk Fakultas Kehutanan, kampusnya menyendiri di Kecamatan Darmaga dan dikenal sebagai Kampus Darmaga yang memang khusus untuk Fahutan. Nuansa hutan masih mewarnai kampus dengan beragam jenis pohon berada di sekelilingnya disertai kicauan berbagai burung di waktu pagi. Tapi, jangan coba-coba jalan di malam hari, berbagai ular keluar dari sarang mencari kehangatan di jalan kampus.

Bagi mahasiswa kehutanan dianjurkan untuk tinggal di asrama yang telah disediakan, terdapat dua asrama kembar: SYLVA SARI dan SYLVA LESTARI. Keduanya, model dan bentuknya sama persis, keduanya juga dikelilingi hutan pinus yang memberikan aroma khas pinus. Nama asrama Sylva Sari mengingatkanku akan nama Denok. Mungkin Pak Jati pernah tinggal di asrama Sylva Sari untuk sesuatu kegiatan.

Aku ditempatkan di asrama Silva Lestari, fasilitasnya cukup mewah. Lampu loss strum, air tinggal pakai, TV, meja tenis, lapangan bulu tangkis, bola volley, meja karambol. Mahasiswa hanya dibebani biaya hidupnya sendiri.

Ruang kuliah Fakultas Kehutanan tidak jauh dari asrama, mungkin sekitar 400 meter. Ruang utama kuliah diberi nama RUANG SILVA. Disitulah bapak atau ibu dosen memberikan ilmunya kepada para mahasiswa. Di depannya, terdapat hutan mini yang dikenal dengan nama ARBORETUM. Berbagai pohon hutan beserta ekosistemnya terdapat di dalamnya. Namun yang paling menyenangkan kuliah di Fakultas Kehutanan tidak seberat kuliah pada tiga semester pertama.

(BERSAMBUNG)

Cerpen dengan judul "Mata Kelinci (3)", telah berhasil dimoderasi dan lolos ditayangkan oleh tim editor.

Cerpen Mata Kelinci (3) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.


Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar: 1 tahun yang lalu. Bagaimana menurutmu gengs? apakah agan menyukai tulisan cerpen dari Bambang Winarto? jika agan menyukai cerpen ini, silahkan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs.


Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.

Promosi Via Guest Post!

Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈

Hai gansis! 🧑‍🦱🧑‍🦰 Yuk coba seru-seruan bareng komunitas dengan menggunakan asisten AI cerdas. Caranya sangat mudah, cukup dengan memberikan tagar dan mention [#tagargpt & @balasgpt] pada balasan agan dan sista di sini.

25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.


Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi

Dilarang mengirimkan pesan promosi, link, spam dsbg. Namun jika agan ingin menyisipkan link (promosi), silahkan pergi ke halaman hubungi moderator kami. Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik yang ada. Untuk informasi selengkapnya, silahkan baca aturan di sini.

Komentar