“Kan kemarin sudah diingatkan apa yang akan dibawa disiapkan malamnya.”
Meski demikian, aku balik ke rumah. Entah apa yang ketinggalan. Sampai di sekolah hampir saja terlambat, gerbang sudah ditutup setengahnya. Untung Pak Satpam baik, aku diperbolehkan masuk.
Bagi siswa kelas dua dan tiga, minggu pertama ke sekolah sangat menyenangkan selain ketemu teman-teman setelah libur panjang, juga menikmati masa orientasi dan pertandingan antar kelas.
Siswa baru dikumpulkan di lapangan diberi berbagai penjelasan oleh bapak dan ibu guru dan yang terakhir penjelasan dari OSIS tentang OSMA serta pembagian nama baru.
“Apa nama Denok pada masa perkenalan?”
“AYAM.”
“Ha…, ha…, ha…”
“Kenapa Mas Juno ketawa?”
“Ya…, lucu saja. Ada – ada saja panitia.”
“Terus apa saja yang harus dipersiapkan.”
“Banyak Mas. Sebelum pulang ke kita beli berbagai keperluan di pasar.”
Pulang sekolah mampir di pasar yang menyediakan berbagai keperluan untuk OSMA. Beli sapu, kertas karton, spidol, tali rafis, caping, kukusan dan banyak lagi.
“Mas Juno, nanti malam bantu Denok buat keperluan besok. Ada papan nama, menghias caping dan masih banyak yang harus dikerjakan.”
Rupanya cukup banyak yang dikerjakan Denok untuk menyelesaikan tugas-tugas yang harus diperlihatkan esok harinya. Kasihan juga. Kalau dikerjakan sendiri rasanya tidak selesai atau kalau pun selesai pasti sampai tengah malam.
Hari kedua di sekolahan selain acara pertandingan antar kelas berbagai olah raga juga dimulainya acara perkenalan siswa baru dengan seniornya.
“Juno, ayo lihat siswa baru, terutama para gadisnya, pasti banyak yang cantik.” Kata Agus.
Agus memang salah satu panitia yang selalu semangat kalau bicara soal gadis.
“Juno, nanti aku panggilkan gadis cantik salah satu siswa baru ya…”
Betul juga tidak berapa lama seorang gadis datang, hati dan jantungku bergemuruh. Ser…, ser…, ser…, dheg …, dheg … dheg … Ini pertama kali aku merasakannya. Aku nggak tahu apa namanya. Gadis dengan tinggi biasa saja, tidak tinggi dan juga tidak pendek, rambut sebahu di kepang belah dua, mata agak besar, pinggang kecil, p*yudara sedang, dan bibir mungil yang selalu basah. Tapi…, matanya…, ya …, matanya … Aku terpesona, sangat indah. Mata dengan alis tebal panjang bagian depan dan menipis di bagian belakang yang bentuknya sedikit menukik. Keindahan matanya dibingkai dengan bulu mata lentik, panjang, dan tebal.
“Juno, lihat gadis yang datang, cantik bukan?”
“Ya…, betul. Cantik sekali.”
“Hai… gadis manis, sini kakak mau kenalan.”
Siswa baru itu pun terpaksa menghampiri aku dan Agus yang duduk di bawah pohon akasia. Aku lihat di papan nama yang bergantung di badannya tertulis “KELINCI” sedangkan di dada sebelah kanan tertulis DEWI.
“Hallo, gadis cantik siapa namanya?” Agus mulai melancarkan jurus untuk memaksa berkenalan. Aku hanya memperhatikan saja apa yang akan diperbuat Agus lebih lanjut.
“Nama saya Dewi kak.”
“Lha itu tertulis Kelinci, jadi yang benar mana, Dewi atau Kelinci.”
“Iya Kak, nama Kelinci hanya untuk masa perkenalan saja.”
“Dewi nama panggilan, nama lengkapnya siapa?”
“Nama lengkap saya DEWI AGUSTINI.”
“Ini, teman saya JUNO, ingin kenalan dengan Dewi, orangnya pemalu. Tapi kalau perkara pelajaran dia paling jago, nggak ada lawannya. Dia menjadi asisten guru untuk pelajaran IPA. Kalau Dewi kesulitan pelajaran aljabar atau ilmu ukur sudut atau pelajaran ilmu pengetahun alam lainnya, datang saja di kelasnya. Juno, mau kenalan sama Dewi boleh nggak?”
“Kenalkan kak, saya Dewi Agustuni, biasa dipanggil Dewi.”
Hati dan jantungku bertambah gemuruh. Uluran tangannya aku terima dengan tangan sedikit gemetar. Tangannya halus, beda dengan tanganku yang kasar, ngapalan, keseringan memegang cangkul.
“JUNO, ARJUNO.”
“Hai Dewi, kalau aku, engkau sudah tahu kan?”
“Sudah kak, kakak Agus.”
“Untuk acara perkenalan, Dewi mau nyanyi atau mau baca puisi?” kata Agus lebih lanjut.
Dewi diam sejenak, mungkin sedang mempertimbangkan nyanyi atau puisi.
“Puisi saja kak.”
“Apa judul puisinya?’
“Kidungku.”
KIDUNGKU
“Aku bernyanyi dalam irama perkenalan,
Senyum selalu ku tebarkan pada teman-teman baruku,
Namaku DEWI AGUSTINI,
Lahir bulan ke delapan di kota Kendal,
Kini aku sudah jadi siswa SMA Negeri Kendal,
Aku bukan siswa penting,
Satu yang aku harapkan,
Semoga, kehadiranku membawa teman-teman ceria.”
Aku dan Agus bertepuk tangan. Aku baru tahu apa yang disebut puisi. Meski sederhana kata-katanya, tapi Dewi begitu menjiwainya.
“Dewi, keren sekali. Engkau cocok masuk jurusan BAHASA.”
“Ya… kak.”
“Juno, ayo ngomong donk, dari tadi diam saja.”
Aku masih terpesona dengan puisi yang dibawakannya. Puisi tanpa teks. Hati dan jantungku masih gemuruh meski sudah mulai berkurang tidak segemuruh saat awal memandangnya.
“Dewi, aku akan panggil engkau Kelinci, boleh nggak?”
Dewi pun mengangguk. Ya…, itulah perkenalaku dengan Dewi. Wajahnya terekam dalam memoriku, Matanya…, ya… matanya, alis dan bulu matanya, tidak bisa kulupakan. Apalagi kala memandangku dengan tatapan matanya yang berbinar disertai dengan senyum di wajahnya.
Agak sedikit siang, Denok datang ketempatku yang sedang menikmati semilirnya angin di bawah pohon akasia bersama Agus.
“Mas Juno, Denok capek. Banyak kakak kelas yang iseng. Nanya macam-macam, juga nyuruh Denok nyanyi atau tugas lainnya.”
“Ya…, memang begitu. Namanya saja acara perkenalan. Sudah dapat berapa tandatangan?”
“Baru lima.”
“Emangnya berapa tandatangan yang harus dikumpulkan sampai akhir acara OSMA?”
“Lima puluh orang.”
“Jadi dalam satu hari minimal harus 10 ya…?”
“Iya…”
“Apa bisa lima puluh orang?”
“Mas Juno bantu dong. Buku perkenalan ini, Denok serahkan ke Mas Juno. Nanti, Mas Juno minta tandatangan teman-temannya yang dikelas tiga IPA.”
“Denok, masa acara perkenalan yang cari tandatangannya Mas Juno?”
“Ya…, nggak apa-apa, kalau satu kelas ada empat puluh orang, yang mau tandatangan kan sudah banyak. Nanti Denok tinggal cari lima orang lagi.”
“Kalau Mas Juno nggak mau?”
“Nanti Denok bilang sama Ibu kalau Mas Juno jahat sama Denok.”
Sejak masuk SMA, Denok tambah manja kepadaku. Kalau mbonceng tangannya memegang badanku dengan erat. Malahan sering kepalanya disenderkan ke badanku.
“Denok, jangan tidur ya…?”
Di sekolahan, dari tempat sepeda menuju kelas saja memegang tanganku dengan erat.
“Denok, apa nggak malu, itu dilihat sama siswa lainnya.”
“Biar saja. Emangnya kenapa?”
Aku tidak mau berdebat dan memang tidak bisa menjawabnya. Di sekolah sudah beredar luas kalau Denok itu pacarku.
“Juno beraninya pacaran sama adik kelas, gadis satu desa di Pegandon.”
“Juno cari gadis lainnya dong. Banyak gadis kelas dua dari jurusan IPS dan BAHASA yang cantik-cantik.”
Aku tidak menanggapi celotehan teman-teman.
Suatu ketika, ketika jam istirahat, Dewi datang bersama salah satu temannya, Ayu namanya. Denok yang saat itu juga sedang menanyakan aljabar memandang Dewi dengan tatapan mata elang.
Kembali, hatiku mengeluarkan suara ser.., ser…, ser…, dan jantungku bergemuruh dheg…, dheg… dheg… seperti saat perkenalan pertama.
“Hai Kelinci, ada apa?”
“Mau tanya aljabar Mas, tadi Pak Guru menerangkannya kurang jelas.”
“Kebetulan Denok juga menanyakan hal sama. Sudah kenal Denok belum?”
“Sudah Mas.”
Aku lihat Denok, Denok pun mengangguk, tanda bahwa mereka sudah saling mengenal. Namun, dengan pandangan sepintas aku mengetahui kalau Denok tidak suka dengan Dewi.
Pulangnya, sambil berboncengan, Denok mencecarku dengan berbagai pertanyaan seperti hakim mengintrograsi kepada terpidana.
“Mas Juno, Dewi sering datang ke kelas Mas Juno, ya…?”
“Itu kedatangan yang pertama.”
“Mas Juno itu manggilnya mesra sekali, Kelinci. Kenapa tidak panggil Dewi saja.”
“Denok mau dipanggil Ayam?”
“Ya…, nggak.”
“Itu panggilan saat perkenalan OSMA, Mas Juno bilang kalau Dewi dipanggil Kelinci mau nggak? Dewi setuju.”
“Pokoknya Denok nggak mau Mas Juno ngajarin Dewi.”
Aku diam saja, kata teman yang sudah biasa pacaran, lebih baik diam seribu bahasa kala menghadapi gadis yang sedang marah. Sepanjang perjalanan pulang Denok diam saja, sepertinya ngambek. Apakah itu yang disebut cemburu? Apakah Denok ada rasa terhadapku, menganggap aku sebagai pacarnya?
“Kelinci, kalau ngalami kesulitan pelajaran kita ketemu di perpustakaan.” Secarik kertas tersebut aku titipkan kepada Agus untuk diserahkan pada Dewi.
Pertemuanku dengan Dewi terpaksa kulakukan secara sembunyi-sembunyi. Sering dilakukan di perpustakaan yang pengunjungnya relatif sedikit. Memandang wajahnya rasanya tidak bosan. Apalagi matanya, seperti ada magnit yang memaksaku untuk terus memandangnya.
“Iiiih …, Mas Juno menatap wajah Dewi dari tadi, emangnya ada apa?”
“Kelinci, engkau cantik sekali.” Entah kenapa kalimat tersebut meluncur secara spontan.”
“Iiih .., Mas Juno diam-diam pandai merayu.”
“Iya…, benar Kelinci sangat cantik kaya bidadari.”
“Emangnya Mas Juno pernah lihat bidadari?”
“Pernah, lha yang di depan Mas Juno kan bidadari.”
Kelinci mencubit tanganku dengan sekuat tenaga.
“ADUUUUH…!!!”
Ibu petugas perpustakaan menatapku dengan tajam. Demikian pula, pengunjung perpustakaan yang umumnya para gadis melihat dengan tatapan yang beragam.
“Nggak nyangka Juno berani pacaran sama Dewi di perpustakaan. Juno sudah lupa sama Denok.” Celoteh salah satu siswi.
“Dewi, gantian yaa…, aku juga mau juga jadi pacarnya Juno.” Celoteh gadis yang lain.
Aku lihat bekas cubitan di tangan kiriku membiru. Berita aku pacaran dengan Dewi di perpustkaan saat itu juga tersebar di sekolahan ditambah dengan bumbu-bumbu yang menyeramkan.
“Juno ketangkap basah saat pacaran di perpustakaan.”
“Nggak nyangka, Juno diam-diam jago pacaran juga.”
Kembali Denok menginterogasiku.
“Apa betul, Mas Juno pacaran sama Dewi.”
“Ya…, nggak lah.”
“Coba lihat tangannya.”
Denok memegang tanganku sebelah kanan, tatapan matanya bagai mencari jarum di tumpukan jerami, kemudian pindah ke tangan kiriku.
“Benar kata teman-teman, Mas Juno pacaran sama Dewi. Pakai cubit-cubitan lagi.”
Aku diam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk membela diri.
“Jadi Mas Juno, di perpustakaan, ngajarin Dewi sambil pacaran ya.. Mas Juno kan sudah janji tidak akan ngajarin Dewi lagi kan?”
(BERSAMBUNG)
Cerpen Mata Kelinci (2) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi