Malam Minggu itu, aku kaget kedatangan teman yang tidak terduga, Wawan, teman yang cukup akrab kala menempuh pendidikan diploma. Orangnya gagah, play boy kampus. Kalau kuliah pakai sepeda motor moge, maklum ortu nya kaya, anak tunggal lagi. Info yang aku peroleh Wawan sudah nikah dengan Wiwid, ratu kecantikan kampus dan sudah punya dua anak. Kami bukan hanya salaman, tapi juga berpelukan.
“Juno…, hebat kamu, nggak nyangka. Kafenya laris manis. Sudah keluarga belum?”
“Masih cari.”
“Gimana carinya, tiap hari hanya nongkrong di kafe.”
“Aku lagi seneng lihat gadis cantik di HP, mau lihat?”
Wawan melihatnya dengan penuh antusias, sangat penasaran, maklum mantan play boy.
“Juno, bisa nggak di copikan ke HP ku?”
“Ya…, bisa saja. Nanti biar Agus yang akan mengkopikan.”
“Juno, Minggu depan aku ke sini lagi sambil nggandeng gadis instagram yang ada di HP mu. Tapi janji ya…, kita nggak saling kenal.”
Janji Wawan ditepati, dia datang bersama gadis baju coklat, entah dari mana dapatnya. Hebat benar Wawan.
Cling…, aku lihat layar HP, ternyata dari Wawan.
“Juno, aku masih dengan gadis baju coklat, sekarang lagi santai di Wisma Blue Vally Bandungan. He…, he…, he… Juno sekali-kali ajak gadis yang ada di HP kamu, bawa ke Bandungan, nanti pasti mereka ketagihan.”
Aku lihat jam sudah menunjukkan 23.40. “Edan tenan Wawan, sudah punya istri cantik masih kepengin dengan gadis lain, ngajak-ngajak yang nggak bener lagi.” Ya…, Wawan itu mantan play boy yangsepertinya belum sembuh dari penyakitnya.
Suatu malam, aku undang gadis yang bernama Wulan. Aku agak terkesima melihat pakaian yang dikenakan cukup berani, langsung menuju tempat duduk di pojok belakang.
“Hai Wulan.”
“Hai Mas Juno.”
Kami berkenalan dan seperti biasa ngobrol tanpa arah.
“Ayoo, Juno, kapan lagi, gadis secantik Wulan sudah ada di depanmu, engkau ajak kencan pasti mau,” hati kiriku mulai memprovokasi. Melihat pakaian dan make up nya, memang benar, sepertinya memberikan sinyal sesuatu kepada lelaki.
“Juno, sekali saja seperti kata Wawan, uangmu lebih dari cukup kalau hanya untuk cinta kilat,” hati kiriku kembali membujuk.
“Juno, lihat wajahnya, dia mengharapkanmu. Mungkin dia perlu uang karena ibunya sakit, atau anaknya sakit?” Bertubi-tubi hati kiriku membujukku. Akhirnya, pertahananku runtuh.
“Wulan bagaimana kalau kita jalan-jalan ke luar.”
Wulan mengangguk.
“Wulan, bagaimana kalau kita ke Bandungan?”
Kembali Wulan mengangguk.
Terjadilah cinta kilat, mempertemukan dua raga tanpa jiwa. Pengalaman pertama, mendebarkan, sekaligus menyenangkan. Kenikmatan sesaat itu pun datang, berulang dan berulang. Paling tidak, dalam satu minggu, satu kali aku melakukan cinta kilat. Gadis dengan wajah melankolis, selalu jadi pilihanku, garang di tempat tidur. Warna kulit selain hitam tidak jadi masalah, apakah putih, sawo matang atau kuning langsat. Lembaran uang merah yang aku tawarkan membuatnya mereka takluk. Namun, aku masih berbelas kasih kalau ada gadis yang betul-betul gadis. Aku tidak tega melakukannya.
“Ida, jadi engkau rela memberikan kegadismu demi sebuah HP?”
Gadis yang mangaku bernama Ida mengangguk dengan wajah terduduk. Aku masih gagal paham, gadis secantik Ida rela menjajakan tubuhnya demi sebuah HP.
“Ida, Mas Juno beri uang yang cukup untuk beli HP. Jangan sekali-kali menjajakan tubuhmu ya…”
Kalau aku rela membelikan HP baru bukan berarti aku sok moralis. Cinta kilat hanya aku lakukan dengan wanita yang memang menjajakan tubuhnya untuk mencari uang. Yaa.., ibarat dagang, ada penjual ada pembeli. Sederhana bukan? Itulah pembenaran yang selalu aku pegang.
Hampir satu tahun aku terjebak dengan cinta kilat. Padahal rasanya hanya gitu-gitu aja. Tapi entah mengapa aku selalu mengalami kesulitan untuk menghindarinya. Berkali-kali aku mencobanya, berpuluh kali pula hati kiriku membujuk dan membujuknya dan aku selalu jadi pecundang.
“Juno, kalau ingin selamat dunia dan akhirat, jangan sekali kali melakukan lima M, mo limo: maling, madat, madon, mabok, dan main”. Itu, nasehat ibu, salah satunya, madon, sudah aku langgar.
Sampai pada suatu ketika, aku lihat di istagram foto gadis mahasiswi. Wajahnya mirip Dewi. Putri, namanya. Jantungku berdebar. Padahal hanya lihat fotonya saja. Aku kontak yang bersangkutan via WA. Sekali tidak ada respon, dua kali tidak ada respon, setelah tiga kali, baru ada respon.
“Hallo, Putri, kita kopdar yuuk, ngobrol di “Kafe Kopi Singkong Simpang Lima.”
“Baik, Mas.”
“Aku pakai celana jean, kaos maron dan pakai topi Pak Tino, jam 19.00 yaa…, jangan lupa.”
“Putri juga pakai celana jean hitam dengan baju warna hijau.”
Malam Minggu yang spesial itupun datang. Jam 18.15 aku sudah sampai di kafe. Agus dan pelayan lain heran dengan kedatangaku, biasanya aku datang sekitar jam 19.30. Aku lihat secara teliti keadaan kafe. Aku ingin kafe dalam kondisi sempurna bukan hanya masalah minuman dan kudapan yang disajikan tetapi juga kebersihan, sound sistem, organ, jaringan internet dan yang lainnya.
Aku menunggu duduk di pojok kanan dekat jendela, tempat duduk spesial untuk menerima gadis-gadis undanganku. Pengunjung mulai berdatangan maklum malam Minggu, tanggal muda ditambah cuaca cerah. Para pegawai melayani pengunjung dengan ramah. Sementara, mata elangku fokus pada kedatangan wanita dengan celana jean hitam dan baju warna hijau
Sekitar jam 19.00 lebih sedikit, gadis itupun datang. Dheg, jantungku berhenti sejenak. Wajah gadis itu memang mirip Dewi. Apakah Dewi? Jantungku masih sedikit berdebar.
“Hallo Putri.”
“Haiii Mas Juno.”
Ternyata bukan Dewi. Dewi punya tembong kecil di pipinya, sementara Putri tidak ada. Kami berdua ngobrol sambil menikmati kopi dan aneka singkong. Aku senang dengan kopi pahit tanpa gula, sementara Putri pilih capucino.
“Putri, dulu sewaktu aku sekolah di SMA Kendal punya teman namanya Dewi. Wajahnya kok bisa mirip Putri yaa, apakah ada hubungan keluarga?”
“Iyaa, benar Mas. Dewi itu kakakku, beda enam tahun. Sejak kecil aku ikut kakek di Semarang. Mbak Dewi sudah berkeluarga, nikah sama Mas Edy. Sekarang anaknya sudah dua, tinggal di Jakarta.”
Sejak ketemu Putri, ajakan hati kiriku sudah tidak terdengar lagi. Sungguh, hari-hari menjadi lebih menyenangkan. Apalagi hari Sabtu, hari yang selalu aku nantikan. Ketemu Dewi dalam bentuk lain, Putri, adiknya.
“Selamat Mas Juno, akhirnya bisa juga ketemu dengan gadis idamannya, wajahnya mirip Roosa, pelantun lagu “Ayat Ayat Cinta”.”
“Terima kasih Gus, ini berkat bantuanmu dengan mengunduh foto-foto gadis instagram.”
“Mas Juno, Mawar ngiri sama Putri, sebenarnya Mawar berharap Mas Juno menggandeng Mawar.”
“Terima kasih Mawar, sebentar lagi pasti ada pemuda gagah yang akan menggandeng Mawar. Sudah pasang status belum?”
Pertemuanku dengan Putri tidak hanya malam Minggu saja, tetapi juga hari-hari lainnya, hari-hari dimana Putri tidak kuliah dan tidak mempunyai kegiatan.
“Putri, kita jalan-jalan yuuk, ke Bandungan.”
“Tapi, Putri sering muntah, tidak kuat hawa dingin dan juga bau bensin.”
Bergandengan tangan, berkejaran, main petak umpet layaknya anak SMA berpacaran. Tapi yaa, tidak apa apa. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak? Memang aku berencana pacarannya tidak terlalu lama. Aku dan Putri bukan lagi anak-anak, sudah matang fisik dan jiwanya. Apalagi finansialku jauh lebih dari cukup. Masih ditambah permintaan ibu. “Juno, kapan kamu nikah? Ibu sudah kepengin ngendong cucu darimu.”
Benar, ketika sedang duduk berdua menikmati indahnya Gunung Ungaran, tiba-tiba. “Houeeek, houeeek, houeeek.”
Hawa dingin pegunungan rupanya tidak cocok untuk Putri. Cepat-cepat aku ambil minyak kayu putih, aku gosokkan dibadannya, aku selimutkan jacketku. Sejenak, Putri tiduran di pangkuanku. Aku pandang wajahnya, aku cium rambutnya, aku cium keningnya, tidak lebih. Aku tidak mempunyai keberanian memperlakukannya seperti halnya yang sering aku lakukan terhadap gadis-gadis yang ada di HP ku.
“Putri, bagaimana kalau dua bulan lagi kita menikah.”
Putri mengangguk, senyum tipis ditebarkan, memandangku dengan mata setengah terpejam, tangannya memelukku dengan erat.
Satu bulan sebelum acara pernikahan, aku telah pesan kamar VVIP di salah satu hotel bintang lima, hotel terbaik di Semarang. Kepada manajer hotel aku minta kamar di tata dengan nuasa melati, ruang kamar beraroma melati, taburan bunga melati di tempat tidur dan juga kamar mandi. Bahkan untuk malam pertama aku juga telah pesan spray putih dan kotak khusus untuk menyimpan lukisan abstrak yang akan terjadi pada malam pertama.
Akhirnya, hari yang selalu aku nantikan datang juga, hari pernikahan. Pernikahanku dengan Putri dilakukan sangat sederhana. Hanya didiliput keluarga kedua belah pihak dan teman-teman dekatku: Wawan, Agus, Mawar dan pegawai di kafeku. Bagiku, itu lebih dari cukup. Gadis idamanku telah aku peroleh.
Bulan purnama memancarkan cahayanya dengan sempurna. Bintang-bintang sembunyi, mengalah memberikan kesempatan keindahan sinar rembulan. Binatang malam bernyanyi dengan riangnya, sepertinya mereka tahu ada dua insan yang akan memadu kasih.
Putri dengan baju tidur pengantin transparan yang aku pesan secara khusus, bak bidadari turun dari langit menghampiriku. Kedua mataku tidak berkedip memandang lekuk tubuhnya. Begitu sempurnanya. Debaran jantungku semakin kencang. Sebelum hati dan jiwa ragaku bertemu dengan jiwa dan raganya, tiba-tiba Putri berlari ke kamar mandi. “Houeeek, houeeek, houeeek.”
Aku sangat terkejut, sesuatu yang sangat tidak aku harapkan. Aku ambilkan minuman hangat. Aku peluk dengan kasih. Bayangan muntah saat berpacaran di Bandungan kembali berputar.
“Putri, apakah engkau sakit?”
Putri hanya diam saja, air mata mengalir, kepalanya menunduk ke bawah.
“Putri, maukah engkau jujur?”
Putri menangis tanpa suara, sambil menutupi wajahnya.
“Putri, maukah engkau jujur?” Pertanyaan itu aku ulangi lagi dengan suara yang jauh lebih keras. Kedua bahu Putri aku cengkeram. Kemarahanku sudah memuncak.
“Iyaa, Mas. Putri hamil.” Suara itu bagai halilintar disiang hari. Untuk beberapa saat aku tidak dapat bernafas. Begitu marahnya.
“Janin siapa yang ada di perutmu.”
“Tidak tahu Mas.”
Tulang-tulangku copot. Lemas. Putri yang aku kira bidadari ternyata sama saja dengan gadis-gadis istagram yang pernah aku kencani. Suatu tak terkira pedihnya, sembilu menyayat hatiku yang paling dalam.
“Haa…, haa…, haa…, Juno, apa Putri mau engkau ceraikan? Bisa jadi Putri hanya memadu kasih dengan satu orang saja, pacarnya, terus ditinggal pergi. Lihat dirimu, berapa banyak wanita yang telah engkau taburi benihmu. Coba jawab dengan jujur Juno…, jangan sekali-kali bicara kesucian!“ Yaa…, itu suara hatiku. Aku dekap Putri tanpa jiwa, mata kosongku menatap dinding.
PoV
Di dinding, terlihat sepasang cicak berkejaran, cicak yang besar menangkap cicak yang kecil, menggigitnya, ditindihnya cicak yang kecil dengan cukup lama sambil matanya melotot melihat sepasang manusia. Mereka sepertinya ingin memamerkan bagaimana memadu kasih.
Awan hitam dengan ketergesaan berlari menutupi penghuni langit. Malam berubah menjadi gelap, sesekali kilat memberi seberkas cahaya disusul dengan gelegar halilintar yang memekakkan telinga sekaligus menakutkan. Hujan pun turun demikian deras. Binatang malam seketika berhenti bernyanyi, bersembunyi di balik rerimbunan pohon. Senandung kesedihan alam menghampiri, menutupi aib dua insan yang akan memadu kasih di malam pertama.
TAMAT
Cerpen Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Kehidupan, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi