Malam hari saat aku sedang belajar tiba-tiba saja Lilis menghubungiku.
“Halo Ca?”
“Kenapa Lis?”
“Aku udah tahu nih siapa perempuan yang sinis banget ke kamu yang tadi di kelas saat belajar.”
“Emang siapa? Kok kamu bisa tahu sih?” tanyaku dengan nada sangat penasaran.
“Namanya Ririn. Aku tahu dari teman-temanku yang juga sekelas dengannya. Dia itu memang tipe cewe yang gak suka ditandingin sama mahasiswi lainnya. Dia sinis ke kamu karna kamu lebih pintar darinya. Coba deh perhatikan aja lagi nanti, ya. Yang jelas dia punya geng gitu deh kata temanku, kumpulan cewe-cewe yang suka ngelabrak kalau ada yang coba-coba menandingin mereka.”
“Tapi kan aku di kelas itu hanya belajar doang gak ada maksud buat nandingin mereka kok,” sambungku dengan nada polos.
Kini setiap kali aku masuk ke kelas perempuan sinis itu, aku jadi sering duduk di belakang namun lagi-lagi dosen menyuruhku agar duduk di depan yang ternyata sebaris dengan perempuan sinis itu lagi. Dosenku tampak menyenangiku karna aku sering mengumpulkan tugas tepat waktu dan sering menjawab dengan benar pertanyaan dosenku. Saat di kelas dosenku jadi lebih sering menanyakan pendapatku di depan teman-temanku. Oleh karna itu teman-temanku di kelas sering menjulukiku dengan panggilan asdos yang berarti asisten dosen. Keren sih tapi ada yang merasa enggak suka nih.
Yap, perempuan sinis itu. Aku mulai merasa tidak nyaman dan kini percaya dengan kalimat sahabatku, Lilis. Ternyata yang dia bilang itu benar. Dia memang punya geng di kelas yang terdiri dari 4 orang perempuan termasuk perempuan sinis itu. Dia sebagai kepala geng yang sangat ditakuti oleh teman-temannya yang lain. Bahkan aku mendengar dari teman sekelasku bahwa perempuan sinis itu sangat tidak disukai siapapun di kampus karna sifatnya yang arogan. Hampir tidak ada yang mau bergabung dengan kelompok mereka. Jadi mereka sering berempat aja kemana-mana.
Terhitung sudah selama sebulan aku belajar di kelas perempuan sinis itu. Seusai kuliah nanti aku udah ada janji dengan sahabatku untuk nonton bioskop bareng. Saat aku keluar dari kelas ternyata perempuan sinis itu menyapa dan mengajakku berkenalan.
“Namaku Ririn,” dia mengulurkan tangannya untuk aku jabat.
“Namaku Caca,” aku jabat tangannya sambil tersenyum ke arahnya.
Dia menawarkan untuk turun bareng ke lantai bawah. Kebetulan kelas kami di lantai 2 dan aku rasa tidak masalah jika turun bareng dengannya. Akhirnya aku menerima tawarannya. Saat di jalan menuju ke bawah kami melewati lorong kampus yang biasanya tidak pernah aku lewati namun aku tahu lorong itu. Aku memang jarang melewati lorong itu karna membuat perjalananku jadi jauh menuju ke lantai bawah. Namun saat itu aku dan perempuan sinis beserta anggota gengnya melewati lorong kampus itu.
Ternyata aku dijebak!
Mereka sengaja mengajakku turun bareng menuju lantai bawah dengan skenario mengajakku berkenalan hanya untuk melabrakku. Entahlah, ada berapa banyak mahasiswi yang sudah mereka labrak dengan cara tidak pantas dan kasar seperti ini.
“Oh namamu Caca ya?!” bentak perempuan sinis itu tiba-tiba memberhentikan langkah kami saat melewati lorong itu.
Kebetulan saat itu lorong kampus terlihat sepi jadi tidak ada yang melihat aksi perempuan sinis itu saat hendak melabrakku.
“Merasa pintar dan jagoan di kelas, ya? Hahaha.. Merasa jadi asisten dosen karna dosen selalu menanyakan pendapatmu di depan kelas? Ingat! Kamu itu enggak ada apa-apanya di kelas kami, ya! Kamu hanya numpang belajar doang di kelas kami!” bentak perempuan sinis itu dengan sangat kasar.
Aku hanya diam saja karna memang aku merasa tidak bersalah kepada mereka. Aku biarkan mereka meluapkan emosi mereka itu. Mungkin dia kesal karna aku diam saja dan tidak meresponnya lalu dia membiarkan aku pergi melewati lorong itu menuju lantai bawah sendirian. Sedih sih iya kalau udah dilabrak gitu tapi heran aja. Apa karna dia takut disaingin, ya? Yang jelas hinaan itu aku jadikan sebuah motivasi.
Saat di bioskop pun aku agak sedikit tidak konsentrasi karna aku masih kepikiran dengan sikap perempuan sinis itu tadi. Seusai menonton di bioskop, aku dan sahabatku makan di salah satu restoran cepat saji. Aku coba curhat ke mereka soal kejadian di lorong kampus tadi.
“Mereka ngelabrak kamu? Keterlaluan banget!” ujar Lilis.
“Jahat banget ya, apa semua cewe hobi ngelabrak?” tanya Erikson dengan polos.
“Aku aja enggak hobi tuh ngelabrak orang, gak ada kerjaan banget,” sahut Lilis.
Semenjak dilabrak itu aku jadi takut berhadapan dengan perempuan sinis itu. Dia benar-benar arogan sekali. Meski tingkahnya itu membuatku semakin tidak nyaman di kelas, namun aku berusaha untuk tetap hadir hingga akhirnya aku berhasil menyelesaikan dan menerima nilai yang memuaskan dari dosenku untuk mata kuliah itu.
“Aku gak mau lagi masuk ke kelas yang ada perempuan sinis itu, cukup ini yang terakhir,” ucapku dalam hati.
Aku bukan takut tapi itu sangat tidak baik untuk kesehatan mental. Itu salah satu bentuk bullying, mereka sengaja melakukan hal itu seperti mengintimidasi agar korban merasa down dan tidak berdaya. Itu tidak boleh terjadi lagi dimana pun dan dilakukan oleh siapa pun.
Tak terasa aku dan sahabatku sudah sarjana dan memiliki pekerjaan masing-masing. Kini aku yang dulunya suka menulis dan membaca, sekarang aku sudah jadi penulis yang terkenal semenjak tulisanku tentang pengalaman dilabrak saat kuliah itu viral. Banyak anak-anak lainnya yang merasakan hal yang sama, yaitu pernah dibully dan direndahkan. Namun siapa pun kita yang pernah dihina, kita harus bangkit!
Sahabatku, Lilis sudah menjadi manajer di sebuah perusahaan asing. Dan Erikson kini telah menjadi pengusaha. Dia juga udah hidup sehat. Dulunya perok*k aktif kini perlahan dia menjauhkan dirinya dari rok*k. Dia sekarang aktif olahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Keren banget! Tidak ada yang pernah menyangka sih, aku kira Erikson akan terus merok*k seumur hidupnya. Dan aku kini jadi penulis kondang yang setiap hari sibuk mengisi acara seminar kepenulisan, diundang di berbagai acara talkshow, dan akhirnya memiliki kafe beserta toko buku kecil di dalamnya guna memanjakan para pengunjung yang suka membaca. Meski di awal kuliah dulu aku merasa malas sekali dengan keinginan Mamaku yang mengharuskanku untuk kuliah, ternyata itu menjadi batu loncatan bagiku. Kini semenjak Mama melihat karyaku, akhirnya Mama luluh dan tidak memaksakan kehendaknya lagi padaku. Aku akhirnya bebas dan didukung menjadi seniman sepenuhnya.
Hingga satu kali aku penasaran dengan perempuan sinis yang pernah merendahkanku saat di bangku perkuliahan dulu, aku coba cari tahu kabarnya sekarang bagaimana ternyata dia hanya menjadi karyawan biasa saja di salah satu perusahaan swasta.
Yah, begitulah hidup. Memang kita harus merasakan banyaknya pahit dalam kehidupan ini agar layak merasakan manisnya nanti. Karna menjadi luar biasa itu dibutuhkan hinaan, celaan dan jam terbang yang tinggi. Kini aku merambah menjadi penulis skenario film. Karya-karyaku lahir dari pengalamanku yang pernah direndahkan, dan aku juga sering melakukan riset kecil-kecilan untuk menghasilkan karya yang luar biasa dari pengalaman oranglain yang pernah diremehkan juga. Jadi, jangan pernah meremehkan siapapun karna masa depan menyimpan ceritanya sendiri.
Cerpen Lorong Kampus (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Acha Hallatu, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Kehidupan, atau cerpen menarik lainnya dari Acha Hallatu.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi