Romantis
Diterbitkan di Romantis
avatar
waktu baca 37 menit

Kereta Valentine (Part 2)

Ternyata pendapatan sebagai petani tidak kalah dengan pendapatan ASN golongan tiga. Kendaraan pribadi roda empat warna pink setia menemaniku. Juga, sebuah kendaraan truck untuk mengangkut hasil pertanian. Dari sisi pendapatan dan materi sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga. Dengan kesibukanku aku lupa akan cinta atau lebih tepatnya aku melupakan akan cinta.

“Juno, Ibu sudah pengin nggendong cucu. Kapan kamu nikahnya?”

“Ya Bu, nanti sekitar tiga atau empat bulan lagi Juno akan membawa calon istri.”

Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dalam tempo empat bulan sudah dapat membawa calon istri. Ketemu saja belum. Tapi jawaban itu harus aku berikan kepada ibu. Begitu lah ibu, selalu menanyakan kapan aku menikah. Memang ibu selalu merasa kesepian sejak ditinggal ayah. Meski aku tinggal satu rumah, tapi kegiatanku keluar rumah, paling tidak di sawah dari pagi sampai sore sangat padat. Bahkan tidak mengenal hari libur seperti halnya ASN.

Entah mengapa aku tidak tertarik pada wanita. Entah mengapa bayang-bayang Dewi sering muncul di benakku. Bukankah dia sudah berbahagia dengan lelaki pilhannya? Bukankah dia telah mengkhianatku? Bukankah itu hanya cinta monyet? Entah mengapa bayangan Euis tidak pernah muncul di benakku seperti halnya bayangan Dewi? Bukankah Euis pernah juga pernah singgah di hatiku? Dan masih banyak pertanyaan yang memenuhi otakku.

Sampai suatu ketika muncul ide yang menurutku agak aneh, ingin mempertemukan mantan yang masih galau dengan cara yang agak aneh pula. Siapa tahu berhasil. Kalau pun aku gagal aku yakin pasti ada orang-orang lain yang berhasil bertemu mantan kekasihnya.

PoV

Perjalananan perdana kereta valantine dengan ngobrol bersama Tika rasanya cukup menyenangkan. Dia cerita kalau sedang galau karena kekasihnya, Abimanyu, telah dijodohkan oleh orangtuanya satu tahun yang lalu. Cinta yang sudah dijalin selama lima tahun akhirnya kandas. Dia yakin kekasihnya masih mencintainya seperti halnya dia.

“Mas Juno, aku akan menunggu Mas Abi. Mereka tinggal di Yogya. Aku ingin melihat kehidupan keluarganya. Apakah dia benar-benar bahagia atau tidak.”

“Bagaimana mengetahuinya?”

“Ya… gampang saja. Tika akan menyamar melihat kehidupan keluarganya.”

“Sebenarnya apa yang diharapkan Tika? Mas Abi bahagia atau sebaliknya?”

“Mas Juno, untuk sementara Tika hanya akan melihat saja.”

Obrolan yang tidak membosankan, waktu 7 jam 45 menit tidak terasa dan tidak lama lagi kereta akan memasuki stasiun Tugu Yogyakarta.

“Baik Tika, selamat berburu Mas Abi. Semoga harapanmu sesuai dengan hati nuranimu.”

Sejak menikmati perjalanan perdana kereta valantine, hampir setiap hari, aku lihat WA Kereta Pink. Jumlah anggota sudah lebih dari 1000 orang. Beberapa diantaranya sudah ketemu dengan mantan. Mereka sangat gembiran dan mengucapkan terima kasih kepada admin, yang belum bisa kontak lebih banyak lagi termasuk diriku. Sebenarnya aku tidak terlalu berharap, karena aku sendiri tidak tahu sebenarnya siapa yang kurindukan.

Untuk kelima kalinya aku ketemu lagi dengan Tika di gerbong dan tempat duduk yang sama, gerbong 3, dia nomor 5B dan aku nomor 5A.

“Tika, Mas Juno heran, kok bisa bersama lagi dalam kereta velentine.”

“Iya…, Tika juga heran. Kenapa ya…?”

“Kalau Mas Juno, sudah punya tiket gratis dengan tempat duduk 5A di gerbong 3.”

“Kalau Tika, bagaimana.?”

“Tika juga sudah beli 12 tiket dengan tempat duduk 5B di gerbong 3.”

Aneh juga. Sebenarnya aku masih penasaran dengannya. Sudah beli 12 tiket dengan tempat duduk yang sama denganku. Ada apa? Namun rasa penasaran itu aku pendam, aku tidak ingin mengiterogasi seperti halnya hakim menanyakan kepada terdakwa. Aku lebih suka mengalihkan pembicaraan yang menyenangkan.

“Tika pernah ke desa?”

“Ya pernah lah.”

“Kalau nanti suatu saat Mas Juno ajak lihat sawah di desa Mas Juno mau?”

“Waah…, seneng banget. Kapan Mas?”

“Ya.., nanti kita atur waktunya.”

“Tika, kalau nggak ada acara, bagaimana kalau malam nanti kita jalan-jalan ke Malioboro. Kereta akan sampai di Yogya sekitar jam 17.00, kita masih bisa siap-siap.”

“Dengan senang hati, kemana Mas?”

“Ya…, pokoknya jalan-jalan. Yang jelas Malioboro, setelah itu terserah Tika yang menentukan. Tika nginap di mana? Kalau Mas Juno nginap di homestay saja. Murah meriah.”

“Tika di rumah saudara.”

“Baik Tika sekitar jam 19.00 an nanti Mas Juno jemput.”

Jalan-jalan sepanjang Malioboro bersama Tika cukup menyenangkan. Tangan mungilnya aku coba gemgam, Tika pun membalasnya dengan erat. Kami pun bergandengan tangan bagai sepasang kekasih. Berjalan pelan menelusuri trotoar yang padat dengan pedagang kaki lima dan pejalan kaki jalan. Sesekali berhenti, melihat kain batik yang dijual pedagang kaki lima. Aku beli beberapa potong untuk pakaian harian.

“Tika mau beli juga?”

“Nggak usah Mas. Kain batik Tika sudah banyak.”

“Tika kita makan gudeg ya…?”

Tika pun mengangguk. Menurut lidahku, gudeg Yogya rasanya paling enak. Apalagi gudeg komplit, ada telur ayam, daging ayam, kerecek dengan piring dari daun pisang yang jual simbok-simbok. “Seeeng ada lawaaan.” Kata orang Ambon.

Makan gudeg Yogya lesehan serta mendengarkan music jalanan yang kualitas suaranya tidak kalah dengan penyanyi yang sudah biasa manggung. Sepasang pengamen jalanan, laki dan perempuan, masih muda minta izin untuk menyanyikan lagu. Aku tidak tahu apakah memang profesinya atau sekedar iseng untuk tambah uang saku atau untuk biaya kuliah. Hal yang lumrah bagi mahasiswa sambil kuliah juga mencari tambahan penghasilan.

“Mas.., satu lagu berapa?”

“Terserah Mas saja.”

“Baik, 15 lagu ya…, lagu-lagu Chrisye, Vina, Ruth Sahanaya, Glenn Fredly, Tulus, Mahalini, dan yang lainnya cari sendiri, yang penting lagu romantis tentang kerinduan.”

“Tika mau nyanyi, nanti Mas Juno yang pegang gitarnya. Bagaimana?”

“Tidak Mas. Tika mau menikmati lagu-lagu dari musisi jalanan saja.”

Malam yang menyenangkan. Berjalan bergandengan tangan, makan gudeg bersama Tika sambil mendengarkan lagu-lagu nostalgia. Sepertinya, benih benih cinta sudah mulai tumbuh di hatiku. Aku pun percaya perasaan Tika pun demikian. Aku akan menunggu hari yang tepat untuk mengutarakan cintaku.

Tanggal 14 ketujuh, aku menunggu aku di Café Pink di Stasiun. Ada dua WA masuk ke HP ku ingin jumpa denganku. Sayangnya mereka tidak menyebutkan namanya. Aku hanya bisa menduga-duga saja, mungkin DEWI, AYU, TIKA, EUIS atau yang lain. Aku sudah atur waktu pertemuannya untuk menghindari mereka datang pada jam yang bersamaan.

Pagi aku sudah berada di kafe pink stasiun kereta api. Kafe masih bersiap untuk buka, beberapa meja sudah aku pesan. Tidak terduga datang pertama wanita dengan menggandeng anak kecil.

“Dewi…?”

“Juno…!”

Kami berpelukan sesaat. Dewi kelihatan lebih tua dari usianya. Aroma parfum melati masih tercium dari tubuhnya. Aku lihat anak kecil lelaki usia sekitar dua tahun menyertainya, dengan pakaian sangat sederhana. Kulitnya putih dan bersih, wajahnya tampan, sayang badannya kurus, wajahnya mirip Dewi. Aku bawa Dewi dan putranya ke tempat duduk untuk makan bakso. Aku perhatikan putranya makan bakso dengan lahapnya.

“Namanya siapa?” Tanyaku.

“Aljuno.” Katanya.

Aku tatap wajah Dewi, ingin minta penjelasan.

“Ya.., namanya Arjuno, seperti namamu. Juno, aku tidak bisa melupakanmu. Makanya ketika lahir bayi laki, aku beri nama Arjuno.”

“Bagaimana kabarmu Juno, masih setia sendiri?” Katanya lebih lanjut.

“Seperti yang engkau lihat.”

“Bukankah banyak gadis cantik yang mendambakanmu?”

“Ya…, sepertinya begitu, tapi nyatanya aku masih sendiri hingga kini.”

“Juno, aku mengetahui kereta valentine dari temanku. Dari temanku pula aku tahu bahwa kamu masih galau, masih mencari teman hidup. Juno, aku ternyata salah dalam memilih teman hidup. Tapi ya…, sudahlah, itu salahku sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Juno, aku datang hanya mau minta ma’af, kesalahan itu selalu membayangiku. Juno…, ma’afkan aku.”

Aku lihat butiran bening di kedua matanya dan tidak berapa lama butiran bening itu menjadi sungai kecil mengalir melalui wajahnya. Segera aku ambil tissue, aku serahkan kepadanya.

“Dewi, aku menyadari kamu bukan jodohku. Kamu tidak salah apa pun, aku memang belum memperoleh jodoh. Siapa tahu dalam waktu dekat dapat jodoh.”

“Juno, semoga kamu cepat dapat jodoh. Selama kamu belum menikah, rasa bersalah itu selalu menyelimutiku. Juno, aku pamit ya…”

Pertemuan itu begitu singkat. Dewi hanya datang untuk minta ma’af. Aku tidak tega untuk menanyakan keluarganya lebih detail. Namun dengan melihat tubuhnya yang kurus, kurang terawat aku sudah dapat menduga kehidupannya kurang harmonis atau jangan-jangan malahan sudah bercerai dengan suaminya.

“Dewi, kita menjadi saudara. Kebetulan aku berkecukupan, kalau kamu mengalami kesulitan keuangan atau yang lainnya jangan sungkan-sungkan telpon aku. Ini untuk beli susu atau mainan Arjuno kecil.”

“Terima kasih Juno.”

Melihat Dewi dan putranya rasanya aku tidak tega. Kecantikankannya telah luntur, sepertinya mengalami kehidupan yang sulit. Semoga perkiraanku salah.

Aku masih mengira-ira siapa lagi yang akan datang. Agak aneh juga mereka menyampaikan kepengin ketemu denganku pada waktu bersamaan. Ketika sedang asyik melihat WA siapa yang yang mengirim pesan, tahu-tahu di depanku sudah berdiri Euis.

“Euis?”

“Mas Juno!”

Kami berpelukan sebentar.

Kami makan bakso bersama dan ngobrol masa kuliah, saat-saat indah bersamanya. Takdir telah memisahkannya. Dua kali aku gagal dalam menggapai cinta. Entah siapa yang sebenarnya ditakdirkan yang akan menjadi pendampingku.

“Mas Juno, Euis hanya sebentar. Euis hanya mau ma’af, rasa bersalah Euis selalu menghantuinya.”

“Euis, lupakan masa lalu. Mas Juno baik-baik saja. Semoga Euis bahagia dengan pilihannya. Sudah berapa putranya?

“Terima kasih Mas. Sampai sekarang, Euis belum dikaruniahi keturunan.”

Tanggal 14 kesembilan, aku terima dua WA yang kepengin ketemu denganku. Rindu katanya. Tidak terduga, yang datang Ayu dengan pakaian cukup modis.

“Hai Ayu..”

“Hai Mas Juno…”

Layaknya sepasang kekasih yang sudah lama tidak juma, kami berpelukan sebentar.

“Ayu kita makan bakso dulu. Bakso paling enak, bakso yang tidak bulat, tetapi gepeng dan berbentuk hati.”

Ayu makan mie bakso dengan lahapnya dengan ditemani segelas es jeruk. Rupanya Ayu sudah hampir selesai kuliahnya.

“Ayu rindu sama Mas Juno?”

“Oh… ya…?”

“Iya…, rindu jalan-jalan lagi sama Mas Juno. Bagaimana kabar Ibu?”

“Ibu sudah semakin sepuh. Nanti ke rumah ya…, jumpa Ibu.”

“Iya.. Mas.”

“Ayu sudah punya pacar belum?”

“Sudah Mas, wajahnya mirip Mas Juno.”

“Ayu, kamu itu mengada-ngada saja.”

“Iya…, bener.”

Ayu mengeluarkan dompet, diambilnya selembar foto, diserahkan kepadaku.

“Coba Mas Juno lihat.”

Aku amati dengan seksama. Ya…, betul. Kok bisa ya…

“Bener kan Mas, wajahnya mirip Mas Juno.”

“Ya…, bener.”

“Siapa namanya.”

“Bima Prajoko, panggilannya Bima.”

“Mas Juno, Ayu menyampaikan undangan, bulan depan Ayu nikah dengan Bima.”

“Oh…ya? Selamat ya…”

Ngobrol dengan dengan Ayu asyik, tanpa kusadari datang wanita yang sudah aku kenal baik.

“Tika…!”

“Mas Juno!”

Kami berpelukan sejenak.

“Tika, kenalkan ini Ayu, saudara Mas Juno. Ayu, ini Tika teman perjalanan kala naik kereta pink.”

Kami pun duduk bertiga.

“Ayo Tika, pesan apa.”

“Bakso cinta seperti yang di pesan Mas Juno.”

“Tika, Mas Juno surprise, Tika rindu sama Mas Juno.”

“Iya… Tika rindu sama Mas Juno.”

Aku tatap wajah Tika, alangkah cantiknya.

“Iiii..h , Mas Juno, malu dilihat Ayu.”

Aku lirik sepintas Ayu, dia hanya tersenyum.

“Iya…, Mbak Tika cantik sekali, makanya Mas Juno memandangnya tanpa berkedip, melotot lagi.”

“Mas Juno, yang pertama Tika sampaikan memang betul kedatangan Tika karena rindu, yang kedua Tika mau terus terang. Tika sudah dijodohkan oleh orangtua. Tika tidak yakin kalau Mas Juno mau melamar Tika dalam waktu dekat. Ma’afkan Tika.”

Seketika mataku berkunang-kunang, aku merasa kursi yang aku duduki bergoyang-goyang hampir saja aku terjatuh. Setelah dapat mengedalikan diri aku sampaikan perasaanku.

“Tika, mengapa kamu tidak cerita saat kita di kereta api atau di Malioboro. Tika, benih-benih cinta sudah mulai tumbuh di hati Mas Juno. Memang tidak secepat yang diharapkan Tika. Tapi kini benih-benih itu mati sebelum tumbuh.”

“Tika, semoga pilihan orangtuamu sesuai dengan harapanmu. Ya…, kalau jodoh seperti kata ibuku, takdir yang menetukan. Dewi, cintaku pertama bukan jodohku, demikian pula Euis cintaku yang kedua, dan kini Tika yang ketiga. Entah kapan Mas Juno akan ketemu dengan jodohnya.”

“Ma’af kan Tika, Mas.”

Aku pulang bersama Ayu dengan perasaan tidak karuan. Apakah aku tidak boleh bercinta? Aku memang sudah berjanji akan membawa calon istri bertemu dengan ibuku. Apa yang harus aku sampaikan ketika pulang ke rumah.

“Juno, jadi calon istrimu Ayu? Ibu senang sekali. Ayu sudah memenuhi tiga kriteria sebagai calon istri: bibit, bebet, dan bobot.”

Ibu begitu gembiranya ketika aku pulang bersama Ayu. Bagi ibu, Ayu sudah dikenalnya, putri dari saudaranya yang bertempat tinggal di seberang.

“Ibu, tadi Juno jumpa Ayu di stasiun. Ayu memberitahu kalau bulan depan akan menikah dengan lelaki pilihannya, namanya Bima Prajoko.”

“Oh.. alah. Ibu sudah gembira, dapat segera ngendong cucu. Terus kapan kamu bawa calon istrimu ke sini?”

“Ibu, Juno janji, enam bulan lagi Juno pasti bawa calon istri.”

“Juno, kalau sampai enam bulan tidak membawa calon istri ke rumah, Ibu akan nikahkan kamu dengan Denok. Kurang apa Denok itu, pandai membantu ibu di rumah.”

Sebenarnya aku tidak terlalu yakin akan janjiku. Tapi hanya itu yang dapat memberikan jawaban yang menyenangkan ibuku. Sungguh gawat kalau aku sampai dinikahkan dengan Denok. Aku sama sekali tidak ada rasa kepadanya.

Kembali aku kepengin naik kereta pink untuk menghabiskan tiket terakhir, tiket yang ke 12. Harapanku bisa ketemu wanita yang sedang galau juga seperti saat bertemu pertama kali dengan Tika. Seperti biasa aku naik kereta yang paling belakang. Gerbong 3 dan kursi nomor 5A sudah aku hafal. Berjalan perlahan sambil melihat sepintas para penumpangnya.

Kala lihat tempat duduk 5B, dheg.., hatiku bergetar agak lama. Meski wanita itu pakai masker, tapi matanya sangat familiar bagiku. Aku tatap terus, wanita itu menundukkan wajahnya. Aku duduk disebelahnya, aroma wangi melati tercium dari badanya. Dewi? Aku masih bertanya pada diriku sendiri. Aku tidak terlalu yakin. Tapi kalau melihat mata, aroma melati dan postur tubuhnya aku yakin wanita itu Dewi. Setelah duduk dengan tenang dan detak jantung sudah mulai reda aku mulai percakapan.

“Mohon ma’af, apakah saya berbicara dengan Dewi? Ma’af masker menutupi wajahnya.”

Untuk sesaat wanita itu diam, namun tidak lama terdengar tangisannya yang sangat pelan.

“Betul Juno, aku Dewi.”

Aku biarkan Dewi menangis secara pelan. Aku berikan tissue untuk menghapus air mata yang mengalir ke wajahnya.

“Juno, rumah tanggaku sudah hancur, kapal yang aku coba pertahankan akhirnya tenggelam juga. Satu bulan yang lalu aku sudah bercerai. Untuk sementara aku kembali ke orangtua dan untuk selanjutnya aku tidak tahu.”

Dugaanku kala jumpa dengannya beberapa bulan yang lalu ternyata benar. Wajahnya menunjukkan penderitaan, kelihatannya sekali badannya kurang terurus. Aku gemgam tangannya untuk memberi ketenangan.

“Dewi, aku masih menunggumu. Jika kamu hidup di desa bersamaku, tentu aku sangat bahagia. Dewi, aku melamarmu.”

“Juno.., betulkah? Aku sebenarnya malu denganmu, aku telah menghinamu, aku sudah menjadi janda, kamu masih mau menerimaku.”

“Dewi, lupakan masa lalu. Kita songsong masa depan kita bersama.”

“Juno peluk aku dengan erat.”

Aku peluk Dewi dengan kuat, aku kecup keningnya, aku tatap mata. Aku cium bibirnya dengan lembut. Aku tidak peduli dengan penumpang yang memperhatiknku.

“Dewi, kereta pink telah mempersatukan kita. Segera aku ke orangtuamu akan melamar.”

Aku yakin hari ini kereta pink telah memberi kebahagian bukan hanya kepadaku dan Dewi saja, tetapi tetapi lebih dari itu.

“Juno terima kasih. Kamu malaikatku. Dekap aku yang erat…

TAMAT

Cerpen dengan judul "Kereta Valentine (Part 2)", telah berhasil dimoderasi dan lolos ditayangkan oleh tim editor.

Cerpen Kereta Valentine (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Romantis, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.


Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar: 1 tahun yang lalu. Bagaimana menurutmu gengs? apakah agan menyukai tulisan cerpen dari Bambang Winarto? jika agan menyukai cerpen ini, silahkan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs.


Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.

Promosi Via Guest Post!

Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈

Hai gansis! 🧑‍🦱🧑‍🦰 Yuk coba seru-seruan bareng komunitas dengan menggunakan asisten AI cerdas. Caranya sangat mudah, cukup dengan memberikan tagar dan mention [#tagargpt & @balasgpt] pada balasan agan dan sista di sini.

25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.


Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi

Dilarang mengirimkan pesan promosi, link, spam dsbg. Namun jika agan ingin menyisipkan link (promosi), silahkan pergi ke halaman hubungi moderator kami. Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik yang ada. Untuk informasi selengkapnya, silahkan baca aturan di sini.

Komentar