Hari wisuda adalah hari yang sangat cerah bahkan awan yang biasanya bergelantungan di langit, mendukung cahaya matahari untuk mencerahkan bumi pada hari itu. Bagi Revanza yang dunianya runtuh beberapa saat yang lalu, hari ini tidak cerah. Muram, seakan badai akan segera datang.
Revanza pergi meninggalkan Fiora yang masih dengan pakaian wisudanya. Berjalan cepat menuju motor yang terparkir disalah satu sudut universitas. Revanza ingin segera sampai ke tempat ia tinggal, kostan. Tak dapat dipungkiri bahwa kostan adalah tempat dimana Revanza merasakan ketenangan. Bagaimanapun juga kostan yang menjadi saksi bisu atas segala kemarahan, kesedihan dan kebahagian Revanza selama perantauan.
Sesampainya di kostan rasa lemas segera menyapa, mengangkat seluruh energi makan siang tadi. Rasa lemas yang terasa membaringkan tubuh Revanza di atas kasur lusuh di kamarnya. Tatapan matanya yang kosong menatap langit-langit kamar. Pikirannya berjalan cepat, kilas balik masa lalu mulai terbayang. Revanza mulai memejamkan matanya, berbagai penyesalan mulai berdatangan, “Memang benar kata ibu, jangan nyari jodoh orang kota.” Begitulah pikirnya. Beberapa menit kemudian Revanza tertidur, tubuhnya menyerah atas pikiran yang tak karuan.
Revanza terbangun ketika matahari sudah berganti bulan, lampu kostannya belum dinyalakan. Dengan tubuh yang masih lemas ia beranjak dari kasurnya menyalakan lampu dan mencari HP-nya. Terlihat 2 panggilan tidak terjawab dari Fiora dan pesan “Kamu gapapa van?” setelah membaca pesan tersebut Revanza melempar HP-nya sembarangan ke atas kasur. Revanza melepas baju terbaik yang dipakainya, ia memutuskan untuk membersihkan diri dulu sebelum membalas pesan Fiora.
Selesai dengan urusan membersihkan diri Revanza kembali ke kasur lusuhnya, menyambar HP yang sempat ia lempar sembarangan berniat membalas pesan Fiora.
“Gapapa ra, maaf ya tadi sibuk jadi baru buka HP sekarang.”
Tring… balasan Fiora langsung tiba ketika balasan Revanza baru dikirimkan beberapa detik yang lalu.
“Oke deh, aku kira kamu kenapa-kenapa.”
“Ra, besok sore bisa ketemu?” balas Revanza
“Bisa, kenapa van?”
“Ada yang mau aku omongin ra.”
“Ohh iya, tadi ga sempet yah. Mau ketemu dimana? Tempat biasa?”
“Iya di taman seperti biasa.”
“Oke, jan lupa istirahat van.”
“Iya.”
Percakapan lewat HP itu berhenti. Revanza beralih ke room chat ibunya “Besok aku pulang bu.” Begitulah pesan yang Revanza kirimkan kepada ibunya. Tanpa menunggu balasan ibunya Revanza beranjak dari kasurnya untuk mengemas barang yang akan ia bawa pulang. Selesai dengan barang yang akan dibawa, Revanza memilih untuk tidur lebih cepat, menyerahkan besok hari pada hari esok adalah bentuk kepasrahan dirinya pada keadaan yang dihadapinya.
Keesokan harinya, di taman Fiora telah menunggu dengan sweater abu yang dipakainya, dan tentu saja dengan kacamata yang menghiasi wajahnya. Hari ini Fiora tanpa bukunya.
“Halo ra, nunggu lama?” sapa Revanza
“Iya nihh dari mana emang?” Fiora menjawab dengan maksud bercanda, tetapi candaannya tidak ditanggapi oleh Revanza.
“Maaf yah.” Jawab Revanza.
“Hmm, mau beli minum atau cemilan dulu ga van?”
“Engga ra, ga kan lama soalnya.”
“Pantesan setelannya aga beda. Mau kemana emang?”
“Ada urusan biasalah.”
“Hmm… gitu sekarang yahh maen rahasia-rahasiaan.”
“Hehe…”
“Yaudah deh, mau ngomong apa emng van?”
“Aku suka sama kamu ra.”
“Hahh, gimana gimana?”
“Seperti yang aku bilang sebelumnya ra, aku suka sama kamu. Mungkin dari pertama ketemu.”
Fiora terdiam tertunduk, pernyataan yang ia keluarkan kemarin mungkin menyakiti hati Revanza.
“Tapi setelah denger cerita kamu kemaren kayaknya, aku mending mundur aja ra. Soalnya dijodohin sama orangtua apalagi buat perempuan kan susah yaa.” Lanjut Revanza dengan senyum getirnya.
“Aku juga ga mau dijodohin kayak gini van.”
“Terlepas dari itu ra, orang tua kamu pasti sayang banget sama kamu makanya dijodohin juga. Mungkin emang yang terbaik buat kamu menurut mereka adalah pilihan mereka.”
Fiora semakin tertunduk mendengar ucapan Revanza, sebenarnya Fiora juga menyukai Revanza mungkin semenjak Revanza selalu menemaninya di taman ini. Bercerita, berbincang atau hanya diam memperhatikan dirinya yang sedang membaca. Fiora menyukainya, hanya saja pernyataan itu seakan tertahan di tenggorakannya, enggan untuk keluar.
“Udah ya ra, Cuma mau ngomong itu doang sih. Maaf ganggu waktu kamu sama keluarga yahh.”
Tanpa menunggu ucapan balasan dari Fiora, Revanza mulai berbalik meninggalkan Fiora yang masih tertunduk menerima pernyataan Revanza yang tiba-tiba. Revanza berhenti sejenak.
“Ohh iya ra, aku juga udah ganti no HP jadi sampai aku baik-baik sama kalo ketemu sama kamu bakalan aku chat kok. Bye Fiora jangan lupa Bahagia yahh” Langkah Revanza begitu mantap, seaakan ia tidak menyesal atas keputusan yang akan diambilnya.
Fiora masih terduduk di salah satu bangku taman, kepalanya menunduk. Pikirannya kalut oleh pernyataan Revanza, lalu tiba-tiba ia berdiri berniat mengejar Revanza. Ingin menyampaikan apa yang ia rasakan, tapi sesampainya ditempat parkir Fiora tidak menemukan motor Revanza. Ia terlambat, Revanza telah pergi.
Revanza sampai di kampung halamannya pada saat hampir tengah malam, ternyata kepulangannya saat ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya. Mungkin karena perasaan dan pikiran yang tak karuan.
Ibunya telah menunggu kepulangan Revanza meskipun saat itu tengah malam, tapi ibunya menunggu dengan sabar di teras rumah ditemani ayahnya. Hal pertama yang Revanza lakukan adalah memeluk ibunya sambil berkata “Eza pulang bu.” Perasaan hangat memenuhi perasaan Revanza. Memang tempat terbaik untuk pulang adalah pelukan ibu yang hangat. Revanza menyalami kedua orangtuanya setelah memeluk ibunya.
“Oii za ayahmu ini tak kau peluk juga? Dingin padahal daritadi nunggu kau nii. Masa ibumu doang yang dapet pelukan.” Revanza memeluk ayahnya tanpa protes.
“Kenapa kau za? Tak biasanya kau langsung meluk ayah gini.” Tanya ayahnya yang heran akan prilaku anaknya.
“Hehh yah, ayah udah dipeluk sama Eza masih protes aja. Masuk yuk za, kita makan dulu.”
“Engga bu, Eza langsung istirahat aja capek soalnya.”
“Ohh yaudah, kamarnya udah disiapin sama ibu.”
“Iya makasih bu.”
Ketika Revanza masuk kedalam rumah ayah Revanza bilang pada ibunya.
“Aku betul kan, ada apa apa sama ni anak bu.”
“Iya yah, aku juga tau tapi ga harus sekarang juga nanyanya, kan kasian dia baru pulang.”
“Kalo macam ni, gimana kita ngasih tau dia kalo kita udah siapin calon buat dia?”
“Yaa nanti kalo Eza udah baikan baru kita kasih tau yah.”
“Oke.”
Seminggu kemudian, di suatu sore ketika Revanza berbincang dengan ayahnya di teras rumah ibunya datang membawakan kopi panasa untuk mereka berdua. Ibunya lalu duduk di sebelah Revanza.
“Kamu kenapa za?” Tanya ibunya cemas melihat perilaku anaknya tidak seperti biasa setelah kepulangannya.
“Gapapa kok bu.”
“Yang betul lah kau kalo ditanya sama ibu kau ni za. Kau tau? Ibu mu ini tau segalanya za.”
“Hehh, emang aku apaan!?” Jawab ibu Revanza sambil menepuk pundak ayahnya.
“Ceritain aja za, daripada kamu pendem sendirian ga baik.” Lanjut ibunya kepa Revanza.
Revanza tertunduk, dengan rasa gengsi dan malu yang ada Revanza mulai menceritakan kejadian sebelum ia pulang.
“Ohh perempuan. Kukira kau punya masalah apa.” Ucap ayah nya terdengar menyepelekan.
“Kamu ni yah bukannya didukung malah diremehin gitu, wajarlah Eza kan baru kali ini lagi ngerasain suka sama perempuan. Setelah yang terakhir pas SMA.” Ucap ibunya menenangkan Revanza.
Revanza tersenyum mendengar perkataan ibu yang membelanya.
“Udah za jangan lupain aja, kalo emang kamu sayang sama dia. Kamu juga harus ngerelain dia bahagia sama pilihan orang tuanyakan?”
“Iya bu, tapi kan ga nutup kemungkinan dia bakal bahagia sama pilihan orang tuanya.”
“Iya za, ibu juga tau. Tapi emang apa yang bisa kamu lakuin kalo udah gitu?”
Revanza terdiam tidak dapat menjawab perkataan ibunya.
“Kau ni za macam bukan anak ayah kau aja. Dahlah lupain ayah punya temen SMA dia punya anak perempuan cantik. Kalo ga salah namanya Rifa, baru lulus kuliah dia. Kau mau?” Ucap ayahnya ditengah keheningan yang ada.
“Engga yah makasih.” Jawab Revanza dengan nada lemas.
“Jangan gitu van, kali aja kamu suka pas udah ketemu nanti. Soalnya besok temen SMA ayah mau kesini bawa anak nya. Abis jemput anaknya yang baru lulus kuliah, sekalian pulang mampir dulu kesini.”
“Hahh, kenapa baru ngasih tau bu?”
“Ibu kan ga bilang bakal ngejodohin kamu, kalo kamu suka sama anaknya nanti sama ayah dijodohin, kalo engga juga yaa gapapa.”
“Ngikut ibu aja dehh.”
“Kau tak mau ikut ayah za?”
“Engga soalnya ayah bau hahaha…”
Suasana sore itu kembali cair dengan candaan ayahnya yang selalu tidak mau kalah oleh ibunya. Tak lama kemudian Della, adiknya Revanza datang bergabung.
Keesokan harinya, ketika Revanza pulang dari rumah temannya ia melihat mobil sedan mengkilap terparkir di depan rumahnya. “mungkin ini teman ayah.” Begitu pikir Revanza. Setelah memasuki halaman rumahnya Revanza melihat perempuan yang tidak asing. Tatapan mereka bertemu beberapa detik sebelum perempuan itu beranjak dari tempat ia duduk. Sedikit berlari menuju Revanza. Perempuan itu memegang tangan Revanza dengan erat dengan mata bersinar dan pupil mata yang membesar yang tertuju pada wajah Revanza yang mematung, terkejut.
“Kamu kemana aja van!? Aku nyari ke kostan kamu, kamu udah ga ada. Aku nanyain ke ibu kostannya katanya kamu udah pulang, tapi aku ga tau jadi gabisa ngelakuin apa apa lagi…” Berbagai perkataan terus menerus dilontarkan, terus menghantam Revanza. Setelah berbagai pertanyaan itu terhenti Revanza bertanya mengabaikan berbagai pertanyaan yang dilontarkan perempuan tersebut.
“Fiora? Kok kamu ada disini?”
“Aku datang sama ayah sama ibu. Datengin temen SMA ayah.”
“Maksudnya? Ayahku temen SMA ayah mu ra?”
“Iyaa, kamu sih maen ganti ganti no HP segala jadinya ginikan!?”
“Bentar ra, aku bingung.”
“Kenapa bingung? Udah ayo masuk kedalem aku mau bilang ke ayah kalo aku mau dijodohin.” Dengan perasaan bahagia Fiora menarik tangan Revanza yang masih mencerna apa yang sedang terjadi.
Revanza menahan tangan Fiora “Bentar, ini beneran Fiora yang aku kenal kan?” Tanya Revanza memastikan.
“Iyaaa Revanza beneran, 1 juta persen beneran!!” Fiora kembali menarik tangan Revanza.
Orangtua Revanza sedang berada di ruang tamu bersama orangtua Fiora.
“Lahh kau ni tak sopan baru kenal udah langsung pegangan tangan!”
“Mat, anakku sama anakmu udah kenal sejak dari kota.” Ayah Fiora menjelaskan takut terjadi kesalahan.
“Lah, napa kau tak kasi tau aku bob, kasian anakku diam terus semenjak pulang dari kota?!”
“Aku kira kau udah tau nama anakku mat.”
“Aku tau, namanya Rifa kan?”
“Kurang tepat om, kenalin namaku Fiora Rifa.”
“Oii za, kenapa kau ga tau kemaren pas aku kasi namanya?!” Tanya ayah Revanza dengan nada geram
“Hehee…” Semua orang yang berada diruang tamu tertawa, menertawakan kesalahpahaman yang terjadi.
Fiora melepaskan tangan Revanza.
“Maaf ya van.”
“Maaf apa dehh.” Jawab Revanza dengan senyum terbaik yang pernah ia tampilkan dulu ditaman pada saat pertama bertemu.
“Bu, Mau deh.” Ucap Revanza pada ibunya dengan mengacungkan jempol.
TAMAT.
Cerpen Fiora Rifa (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Ikiw Prikitiew, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Romantis, atau cerpen menarik lainnya dari Ikiw Prikitiew.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi