Selama beberapa bulan ini, aku kehilangan penaku. Tintaku telah habis untuk menggambarkan kehidupan yang tak begitu indah ini. Jika aku ingin menulis, apa yang seharusnya kucari?
Hidupku terlalu sibuk berandai, berimajinasi tanpa henti namun enggan aku tuliskan. Aku berharap ini dan itu, peristiwa yang aku sadari jauh dari kenyataan. Tapi aku bahagia, aku lepas dan bebas dalam imajinasiku. Tak perlu terikat aturan dan tak perlu dipukul cibiran orang-orang.
Seringkali aku menggambarkan diriku sebagai orang hebat yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Setidaknya bagiku itu adalah cita-cita yang sangat ingin aku gapai. Punya pekerjaan bagus, gaji cukup dan bisa menyetir mobil.
Kemudian aku menggambarkan seorang teman yang mau menemaniku menjalani hidup yang sederhana. Seseorang yang tak banyak menuntut, namun mampu membuatku bahagia karena rasa pengertian yang dia punya. Aku tak menggambarkan dia sebagai manusia sempurna, tapi aku menggambarkan dia sebagai pelengkap yang berjanji setia untuk selalu bahagia denganku.
Orang itu tak kuberi nama, sengaja agar aku tak kecewa jika tak pernah bertemu dengan nama yang sama. Aku menggambarkan wajahnya, senyumnya dan tatapan hangatnya yang akan selalu aku sukai seumur hidup. Dia selalu merangkul, tak pernah menggiring apalagi mendorongku dalam menghadapi kehidupan ini. Jika kami bertengkar dia akan diam, memberi waktu untuk kami berdua agar merenung dan menyadari kesalahan masing-masing. Kemudian kami akan berbaikan, saling meminta maaf dan kembali membisikkan kasih sayang satu sama lain.
Aku menyukai suaranya ketika bernyanyi. Aku mendamba dan mengagumi petik gitar akustik yang selalu menyanyikan lagu-lagu kesukaanku. Dalam setiap hari jadi, dia akan memberiku kejutan dengan candle dinner sederhana di rumah kami. Kemudian, dia akan memutar lagu Ed-Sheeran dan mengajakku berdansa. Kami akan sama-sama berbisik mengenai kegembiraan dan rasa syukur karena memiliki satu sama lain. Semua pesta sederhana itu akan berakhir dengan kami yang jatuh tertidur sambil mendengarkan lagu-lagu manis, lagu-lagu kami.
Selera humor dan selera makan orang itu sama denganku. Jadi tak perlu banyak waktu bagi kami untuk saling beradaptasi. Dia akan selalu memakan apapun masakanku, dia akan berpendapat sama ketika aku bilang ‘makanan ini enak’. Kami akan selalu tertawa tiap kali aku atau dia mengatakan lelucon. Kami mengerti satu sama lain, dan kami menerima seluruh kurang dan lebih satu masing-masing. Dan kami merasa cukup dengan memiliki satu sama lain.
Aku ingin kebahagiaanku sederhana namun mampu bertahan selamanya. Aku ingin, aku dan dia saling merindukan ketika dipisahkan jarak. Namun, dia hanyalah orang yang hidup dalam imajinasiku. Dia mungkin bukan idola yang aku kagumi setengah mati, bukan pula seseorang yang aku cintai diam-diam. Dia hanyalah dia, seseorang yang tak akan pernah menjelma menjadi manusia sungguhan. Jika tak kutemukan orang seperti dia dalam hidupku, akankah aku gila?
Cerpen Dia dalam Imajinasi merupakan cerita pendek karangan Arunia Wardani, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Arunia Wardani.
Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar:
Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.
Promosi Via Guest Post!
Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈
25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.
Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi