Cinta
Diterbitkan di Cinta
avatar
waktu baca 29 menit

Cinta Yang Tertunda (Part 2)

Pembangunan di Batam dilakukan secara besar-besaran sesuai arahan dari Bapak BJ, Habibie. Batam akan dijadikan seperti Singapura, kota industri, perdagangan dan sekaligus wisata. Konsep yang dikembangkan Pak Habibie sebenarnya sangat sederhana, menerima limpahan investasi dari Singapura. Jarak Singapura dengan Batam demikian dekatnya, bahkan Batam mempunyai banyak kelebihan.

Sebagai pimpinan cabang, segala pikiran, tenaga dan waktu, aku curahkan sepenuhnya segaligus ingin melupakan bayang-bayang Dewi selalu setia menyertaiku.

Ketika sedang sibuk rapat dengan para staf, penerima tamu, tergopoh gopoh memberitahu.

“Pak Juno, ada telpon dari Weleri penting katanya.”

Rapat aku tinggalkan, bergegas menuju ruang kerjaku untuk menerima telepon.

“Mas Juno, ini Yuni, Ibu gerah, Mas Juno diminta untuk pulang.”

Telepon yang sangat pendek, tanpa basa-basi, isinya memberi perintah. Yuni, adikku yang telah berkeluarga memang aku tugaskan untuk sering ke rumah, melihat kondisi ibu. Sejak ayah meninggal dua tahun yang lalu, kesehatan ibu menurun dan gampang depresi.

Perlu waktu dua hari satu malam untuk sampai di rumah. Suatu kemajuan dalam pembangunan jalan darat dibandingkan ketika aku pulang pertama kali, perlu waktu empat hari tiga malam.

Ibu berbaring lemah di ranjang, badannya kurus, matanya setengah terpejam. Aku pandang wajahnya, aku cium keningnya.

“Ibu…, ini Juno.” Aku berbisik di telinganya. Ibu membuka matanya, memandangku agak lama.

“Juno… ya.” Ibu bangkit dari tidur dan duduk di ranjang, matanya berbinar. Ibu memeluk dan menciumku dengan penuh kerinduan.

“Juno, ibu sudah kangen nggendong anakmu. Ibu Endang, tetangga sebelah, kepengin besanan sama Ibu. Anaknya cantik, Namanya Putri. Ibu kepengin Juno nikah dengannya. Putri sering ke rumah, ngirim makanan, kadang membantu ibu masak, bahkan ngerokin ibu kalau ibu masuk angin. Nanti, kamu lama-lama akan cinta sama Putri, witing tresno jalaran soko kulino.”

“Besok, kamu melamar Putri.”

“Baik Bu…” aku tidak berani membantah permintaan ibu. Aku sebenarnya juga tahu siapa Putri, ketika aku mulai kuliah di UNDIP, dia masih kelas tiga SMP, usianya ya…, kira-kira sama dengan Dewi. Wajahnya, sedang-sedang saja, tidak secantik Dewi.

Pernikahan dilakukan secara sederhana, hanya dihadiri keluargaku dan keluarga Putri serta tetangga terdekat.

“Juno.., Mbok Iyem ikut ke Batam nanti akan ngajari Putri memasak dan mengurus rumah tangga.” Mbok Iyem itu pembantu ibu yang setia, sudah puluhan tahun ikut ibu.

Putri langsung aku boyong ke Batam, bulan madu nanti saja dipikirkan setelah sampai di Batam. Perlu satu minggu untuk mengatur perabotan rumah tangga. Semuanya, aku serahkan pada Putri. Setelah itu, selama tiga bulan, setiap Sabtu dan Minggu, kami berdua bulan madu ke Singapura dan keliling ke berbagai pulau di sekitar Batam. Putri sangat senang sekali setiap ke Singapura, menikwati berbagai wisata yang ditawarkan dan lebih lebih-lebih berbelanja ke berbagai mall.

Seperti kata ibu, Putri memang istri yang sempurna, pandai melayani suami. Makanan kesukaanku: bubur ayam, opor ayamnya, jangan (sayur) bronchos, jangan lodeh, gudeg, tahu bacem, tempe goreng, ayam goreng, empal, udang goreng dan krupuk udang selalu bergantian ada di atas meja. Belum lagi kudapan: pisang kepok kuning goreng, jadah bakar ditemani kopi hitam pahit selalu dihidangkan pada sore atau malam mari. Malam menjelang tidur, Putri selalu memijatku dengan lembut, penuh kasih. Jamu sehat lelaki dicampur dengan telur kampung selalu disediakan.

“Mas Juno, jamunya sudah diminum? Apakah malam ini kita akan ke Taman Firdaus?”

Namun, pada awal-awal perkawinan, aku sering berselingkuh tanpa sepengetahuannya. Saat aku mencumbunya, wajah Dewi selalu muncul di wajahku. Sungguh aku sangat berdosa. Beruntung waktu berputar tanpa mengenal lelah. Kasih Putri yang dicurahkan setiap hari lama-lama mengusir bayang-bayang Dewi, wajahnya semakin buram dan akhirnya hilang. Betul kata ibu, witing tresno jalaran soko kulino. Cintaku telah tumbuh dan bersemi, aku benar-benar sudah jatuh cinta sama Putri. Bagai tanaman, benih-benih cinta selalu aku rawat dengan kasih, aku siram, aku pupuk, aku cabut tumbuhan pengganggunya, apalagi Putri kini sudah mengandung.

“Mas Juno, Putri sudah mengandung tiga bulan.”

Aku begitu gembiranya, setiap malam, perut Putri selalu aku usap. Kadang-kadang telingaku aku tempelkan di perutnya untuk mendengarkan detak jantung bayi yang masih setia tidur di rahimnya. Meski masih lama, aku dan Putri sudah mulai merancang apa saja keperluan bayi. Sayangnya waktu tidak mau diajak kompromi mempercapat jalannya, aku ingin segera menggendong bayi yang akan dilahirkan, laki atau perempuan bagiku sama-sama.

Saat hari kelahiran, dari rahim Putri, lahir anak lelaki, kelahiran yang membawa kebahagiaan sekaligus membawa petaka bagiku. Bagai disambar petir disiang hari ketika dokter memberitahu kalau Putri meninggal saat melahirkan. Dokter menerangkan panjang lebar sebab kematiannya, namun aku tidak mengerti apa yang disampaikannya. Pikiranku buntu, takdir telah menentukan jalan hidup Putri. Hatiku tergoncang cukup lama.

Bayi itu, aku beri nama Bayu Prakoso. Aku berharap nantinya menjadi lelaki yang kuat. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana membesarkan Bayu. Sempat berpikir untuk aku serahkan kepada ibu di Weleri, tapi ibu sudah terlalu sepuh, aku tidak tega. Untuk memberi ASI, atas saran dokter, aku diminta mencari ibu yang sedang menyusui, berbagi ASI dengan Bayu. Beruntung ada yang mau, Ginah namanya. Orangnya gemuk, baru melahirkan juga. Makanan dan minuman sama seperti yang aku makan ditambah susu sapi segar setiap hari. Dari ASI Ginah, Bayu tumbuh dengan sehat, badannya ideal untuk ukuran anak, tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus.

Kala malam tiba menjemput, sangat terasa sekali aku kehilangan istri yang aku cintai. Tidak ada lagi cengkerama, makan bersama, jalan-jalan keliling kota, jalan-jalan menuju Taman Firdaus. Sering aku merenung, dua orang yang aku kasihi telah meninggalkanku dengan cara berbeda. Apakah aku tidak boleh mencintai seseorang?

Cukup lama aku bertugas di Batam. Karena prestasiku, aku dipromosikan menjadi salah satu direktur BUMN di Jakarta. Tugas yang lebih berat, pikiran dan tenaga dan aku curahkan sepenuhnya. Aku lebih sering di kantor, kecanduan bekerja, menjadi workaholic.

Kehilangan Dewi dan Putri membuatku hatiku beku, tidak ada keinginan untuk berumah tangga lagi. Padahal, dengan usia yang semakin matang dan materi yang berkecukupan, kalau aku mau tinggal memilih wanita yang aku inginkan.

Sementara, Bayu telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa gagah yang sudah matang untuk berumah tangga. Dengan latar pendidikan IT dari Amrik, kariernya sangat membanggakan, menjadi pimpinan perusahaan di bidang IT yang didirikannya.

Aku dan Bayu, meski satu rumah, jarang ketemu. Masing-masing punya kesibukan sendiri. Malam yang aku harapkan bisa makan bersama itupun jarang terjadi. Kepulang dari kantor tidak bisa ditentukan.

Sebagai orangtua tunggal, tugasku tinggal menunggu Bayu menikah dengan gadis pilihannya.

“Bayu, kapan ayah bisa berkenalan dengan pacarmu?”

“Minggu depan ayah, sehabis olah raga.”

Minggu pagi nan cerah, aku berjemur di halaman rumah menikmati hangatnya sang surya sambil baca koran Kompas, Di meja, tersedia kopi pahit panas dan pisang kepok kuning goreng yang disediakan Mbok Iyem. Minuman dan kudapan kesukaanku.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, diikuti dengan kemunculan Bayu dan gadis kenalannya.

“Ayah…, ini Desy, Desy Yuniati teman dekat Bayu.”

“Selamat pagi Om…”

Jantungku berhentik berdetak sejenak diikuti detak jantung yang cukup keras, dheg…, dheg…, dheg… Wajah gadis tersebut mengingatkanku akan seseorang, apalagi Desy memakai celana jeans, kaos warna putih motif bunga melati, pakai topi baseball cap dan mamakai sepatu kets. Aroma melati menempel di tubuhnya, persis sama seperti yang dipakai Dewi saat wisata di Candi Gedong Songo. Wajahnya mirip, sangat mirip, ya…, ya…, ya…, wajah Dewi. Wajah yang sudah aku lupakan sejak pernikahanku dengan Putri kini muncul kembali. Detak jantungku semakin keras. Apakah ada hubungan antara Dewi dengan Desy?

“Desy, sudah lama bekerja dengan Bayu?”

“Sudah satu tahun Om?”

“Tinggal dimana? apakah ayah dan ibu masih ada?”

“Ayah dan ibu sudah lama berpisah Om. Desy tinggal bersama ibu, di daerah Depok.”

“Kalau boleh tahu siapa nama ibumu.”

“Dewi, Om.”

Dheg… Dheg… Dheg…, kembali jantungku berdebar. Dewi? Apakah Dewi cinta pertamaku.

“Ayo Desy, ini ada pisang goreng, kesukaan Om. Bayu ambilkan minuman untuk Desy. Desy mau minum apa?” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan sejenak, detak jantungku semakin kencang.

“Air putih saja, Om.”

Perkenalan pertama dengan Desy membuatkanku bertanya-tanya. Jangan-jangan Desy itu anaknya Dewi. Mungkinkah?

Hari Minggu berikutnya, Bayu membawaku ke Depok untuk diperkenalkan dengan ibu Desy. Pikiranku dipenuhi dengan wajah Dewi. Ketika memasuki perumahan, jantung semakin berdebar-debar. Desy sudah menunggu di depan rumah.

“Mari Om, masuk.”

Ketika masuk rumah…, aku tertegum melihat ibu Desy yang berdiri tidak terlalu jauh, berdiri bagai patung juga memandangku tanpa kedip. Hanya hitungan kurang dari satu detik ibu Desy setengah berlari memelukku.

“Mas Juno!” Kembali, jantungku berdetak dengan cepat. Dheg… Dheg… Dheg…

“Dewi.” Aku dekap Dewi.

Ketika kesadaran Dewi sudah pulih, Dewi melepaskan pelukannya.

“Mas Juno, ma’af ya…, tadi Dewi secara spontan memeluk Mas Juno. Bayu, ma’afkan tante.”

Bayu dan Desy masih bingung dengan kejadian yang tidak terduga, mereka saling berpandangan, dengan wajah keheranan.

“Bayu dan Desy. Ayah akan cerita singkat hubungan ayah dengan Dewi. Dulu ayah pernah menjalin cinta kasih dengan Dewi. Kala itu, ayah dan Dewi bertemu di kereta api “Bintang Malam”, Ayah dari Weleri dan Dewi dari Kaliwungu, sama-sama menuju Semarang. Ayah kuliah di UNDIP dan Dewi sekolah di SMA 1. Ketika ayah sudah lulus, ayah ditugaskan di Batam. Hubungan dengan Dewi putus, jarak menjadi penyebabnya. Batam – Kaliwungu sangat jauh. Surat-surat yang tadinya lancar semakin lama semakin jarang dan akhirnya tidak ada lagi. Ketika ayah cari di Kaliwungu, Dewi sudah pindah entah kemana. Ayah akhirnya menikah dengan ibu Bayu, pilihan Ibu.”

Aku memandang Dewi, dan sepertinya Dewi tahu apa yang ada di pikiranku.

“Bayu dan Desy, ketika surat-surat dari Mas Juno sudah tidak datang lagi, Ayah menerima pinangan dari Kepala Kantor Pos Kaliwungu yang sudah sejak lama naksir ibu. Belakangan Ibu tahu, bahwa ayah Desy lah yang menyembuyikan surat-surat dari Mas Juno. Ibu merasa dikhianati, ayah Desy tidak jujur, Ibu minta cerai.” Air matanya menggenang di matanya.

Bayu dan Desy kembali berpandangan. Nampaknya mereka sudah mulai mengerti hubunganku dengan Dewi.

“Dewi, tadinya aku ke sini sebenarnya untuk berkenalan dengan ibunya Desy, ternyata aku sudah mengenalnya. Bulan depan, aku akan kesini lagi bermaksud melamar Desy untuk Bayu, mereka sudah sepakat untuk hidup bersama menjalin rumah tangga. Demikian pula aku akan melamar Dewi untuk jadi istriku.”

Kembali, Dewi memelukku tidak malu-malu lagi.

”Terima kasih Mas.”

PoV

Tiga bulan kemudian, dilangsungkan acara resepsi pernikahan di gedung yang cukup megah di Jakarta. Resepi pernikahan sangat meriah yang jarang terjadi, pernikahan dua pasang pengantin: duda nikah dengan janda, Arjuno dengan Dewi Lestari dan anaknya duda nikah dengan anaknya janda, Bayu Prakosa dengan Desy Yuniati.

Para tamu undangan demikian banyaknya, gedung yang demikian besar tidak mampu menampung undangan, para kolega dan stafnya Arjuno dan juga para kolega stafnya Bayu. Ucapan selamat memenuhi halaman gedung pernikahan. Koran lokal pun ikut meliputnya dengan judul yang bombantis. “Duda dan Anaknya Kompak Menikahi Janda dan Anaknya.”

“Dewi, kita bulan madu kemana?”

“Kita Ke Candi Gedong Songo, bukankan kita sudah sepakat akan melihat pohon mahoni yang ada gambar hati dan tulisan Juno + Dewi.” Candi Gedong Songo tempat yang selalu mengingatkanku. Di tempat itu lah aku mencium gadis yang aku cintai pertama kali.

Dari Jakarta menuju Semarang naik kereta api. Tadinya kepengin naik kereta api “Bintang Malam” untuk mengingatkan masa kuliah, rupanya kereta tersebut sudah masuk museum dan sebagai gantinya aku pilih kereta “Biru Malam”, kereta eksekutif yang berjalan di malam hari. Gerbong tiga dengan tempat duduk 5A dan 5B selalu menjadi pilihanku. Sepanjang perjalanan Dewi menggandeng tanganku, bahkan saat tidur di kereta pun tanganku dipegang dengan eratnya. Sepertinya Dewi takut kehilanganku. Aku dekap dengan penuh kasih.

Candi Gedong Songo semakin indah, bukan hanya candi, tapi juga berbagai taman rekreasi dijumpai. Cottage dengan layanan prima tinggal pilih.

“Mas Juno, lihat gambar hati di pohon mahoni ini, masih jelas dan semakin besar.”

Ya…, gambar hati semakin besar, seperti hatiku dan hati Dewi. Dewi mengeluarkan kalung berbentuk hati yang ada tulisannya Juno + Dewi, hadiah yang aku berikan ketika ulang tahunnya ke tujuh belas. Dewi ingin menunjukkan bahwa cintanya kepadaku sejak dulu tidak luntur.

Aku pandang wajahnya, kulit wajahnya tidak semulus kala remaja, tapi Dewi tetap cantik. Aku cium kening, aku cium bibir, aku bisikan. “Dewi…, aku cinta padamu sampai kapanpun.”

Untuk sejenak, Dewi terlena, matanya terpejam sambil berbisik.

“Mas Juno, Dewi juga cinta sampai maut memisahkan kita.”

Waktu satu hari sepertinya berlari dengan cepat.

“Mas Juno …, kejar Aku.., Mas Juno …, cari Aku.. Mas Juno, Mas Juno, makan bakso ya… Begitulah Dewi kalau di Candi Gedong Songo, lupa kalau sudah jadi ibu bahkan tidak berapa lama akan meminang cucu. Jika Tuhan mengizinkan, tahun depan aku akan menjadi ayah dari benih yang aku taburkan ke rahim Dewi dan juga sekaligus menjadi kakek dari perkawinan Bayu Prakoso dengan Desy Yuniati. Semoga Cinta yang tertunda itu tumbuh dengan subur sampai akhir hayat.

Malam yang dingin, bulan tertutup kabut, cahaya beberapa bintang mencoba menerangi cottage yang sinar lampunya hanya tiga watt.

“Mas Juno, Dewi ingin segera melahirkan benih dari Mas Juno. Peluk aku… Mas Juno …, peluk aku yang erat.”

Malam penganten kedua bagi keduanya, malam yang sangat indah. Malam bertemunya jiwa ragaku dengan jiwa raga Dewi.

Binatang malam pun ikut bersuka cita.

Krik… krik… krik…

Kung kong – kung kong – kung kong,

Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk…,

CINTA YANG TERTUNDA puluhan tahun itu pun bersemi.

Cerpen dengan judul "Cinta Yang Tertunda (Part 2)", telah berhasil dimoderasi dan lolos ditayangkan oleh tim editor.

Cerpen Cinta Yang Tertunda (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, agan dapat mengunjungi profil penulis untuk membaca karya-karya cerpen terbaru miliknya. Baca juga cerpen seputar Cinta, atau cerpen menarik lainnya dari Bambang Winarto.


Cerpen ini telah berhasil ditayangkan sekitar: 1 tahun yang lalu. Bagaimana menurutmu gengs? apakah agan menyukai tulisan cerpen dari Bambang Winarto? jika agan menyukai cerpen ini, silahkan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs.


Jika dirasa cerpen ini bermanfaat, jangan lupa sebarkan cerpen ini ke medsos atau langsung klik tombol sebarkan ya gengs! 🫰.

Promosi Via Guest Post!

Buat agan & sista, jika ingin mempromosikan produk bisnismu melalui tulisan (guest post-content placement), silahkan baca terlebih dahulu tentang aturan dan kebijakan guest post 👉 di sini 👈

Hai gansis! 🧑‍🦱🧑‍🦰 Yuk coba seru-seruan bareng komunitas dengan menggunakan asisten AI cerdas. Caranya sangat mudah, cukup dengan memberikan tagar dan mention [#tagargpt & @balasgpt] pada balasan agan dan sista di sini.

25 Fitur Terbaru: Kuis AI, Pelajaran Sekolah AI, Latihan Soal AI, Jawaban Soal AI dan masih banyak lagi fitur menarik lainnya.


Hanya pengguna VIP yang sudah terdaftar dan memiliki akun lencana terverifikasi

Dilarang mengirimkan pesan promosi, link, spam dsbg. Namun jika agan ingin menyisipkan link (promosi), silahkan pergi ke halaman hubungi moderator kami. Berkomentarlah dengan bijak dan sesuai topik yang ada. Untuk informasi selengkapnya, silahkan baca aturan di sini.

Komentar